الثلاثاء، 19 فبراير 2013

TARIF IMPOR

PENERAPAN TARIF IMPOR BERDASARKAN KETENTUAN
GATT-WTO, AFTA DAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA      
(The Aplication of Import Tariff according to The Rule of
GATT-WTO, AFTA and Indonesian Legislations)  

By: Oleh Muhammad Sood, SH, MH

ABSTRACT
International trade is a part of businesses activity that latterly develops quickly. It can be seen from more progressive the circulation of goods, services, and capital from a state to another state, such as through export and import activity, investment, service commerce, etc. Therefore as logical consequence of this progress especially in facing of liberalization era in commercial sector, the change and development in law field must be conducted especially in the field of business law, including the regulation of import tariff.  
As the member of the world trade through the agreement result of Uruguay Round Conference 1994, Indonesia have ratified the Acts Number 7 Year 1994 about “The Ratification of Agreement on Establishing the World Trade Organization/WTO” has consequence that Indonesia have to obey the whole of agreement result in WTO forum, and to do harmonization of national legislations in accordance with the GATT-WTO principles.
According to the agreement of Uruguay Round Conference 1994, so the application of import tariff in GATT-WTO regulation is based on maximum tariff: maximal 30% to 40% of custom duties. Beside that as the member of ASEAN, Indonesia has become the part of AFTA (ASEAN Free Trade Area) since 2003 with the tariff standard is about 0% to 5%. The Application AFTA is base on the agreement result of “"The Agreement Common Effective Preferential Tariff (CEPT) 1992.
Meanwhile the application on tariff in Indonesian regulation is the maximum tariff 40% of custom values. To realize the application of import tariff Government than issue the Acts Number 10 Year 1995 about custom regulation. In the Article 12 section (1) explained that “the import goods is withhold base on maximum tariff 40% of custom value for the account of import tariff” except on the AFTA members states, because they have applied the tariff value about 0% to 5% of custom value base on CEPT agreement.


Keywords: international trade, import, tariff, maximum tariff. Custom values.


I.        PENDAHULUAN
Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis internasional juga semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, tenaga kerja maupun, modal dari suatu negara ke negara lain demikiaan pula sebaliknya. Kegian-kegiatan tersebut dapat terjadi baik melalui kegiatan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba (license and franchise), hak atas kekayaan intelektual; atau kegiatan-kegiatan bisnis lainnya yang terkait dengan perdaganan internasional, seperti perbankan, asuransi, perpajakan dan sebagainya.
Untuk mengantisipasi liberalisasi perdagangan internasional, Indonesia telah menentukan arah kebijaksanaan di bidang hukum yang mendukung kegiatan ekonomi, sebagaimana dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, Tap MPR No.IV/MPR/1999. Hal ini telah dinyatakan dalam butir 7, bahwa Indonesia harus mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.          
Menurut Sumantoro, Istilah “perdagangan internasional” sebenarnya adalah kegiatan pertukaran barang, jasa dan modal antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain. Perdagangan internasional merupakan kegiatan perniagaan dari suatu negara asal yang melintasi perbatasan menuju suatu negara tujuan yang dilakukan oleh perusahaan untuk melakuakan perpindahan barang, jasa, tenaga kerja teknologi dan merek dagang”.[1]  
Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota organisasi perdagangan internasional, Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang disepakati dalam perundingan GATT-WTO. Ketentuan-ketentuan tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap sistem dan pranata hukum nasional di sektor perdagangan termasuk pada kegiatan industri kecil. Pengaruh tersebut tidak dapat dihindari terutama dalam pembangunan ekonomi nasional, karena Indonesia telah menganut sistem perdagangan bebas semenjak ditandatanginya persetujuan Perundingan Putraran Uruguay (Uruguay Round) yang berakhir di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994.
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.[2]
Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional baik pada tataran global (GATT-WTO) maupun regional (AFTA, APEC dan CAFTA) diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama sektor usaha industri kecil dan menengah baik secara nasional maupun internasional, sehingga peranan industri kecil dan menengah merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang didukung oleh kemajuan di bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Untuk itu pentingnya upaya perlindungan terhadap kelompok industri kecil dan menengah melalui upaya penerapan tarif bagi produk impor, karena kedua kelompok ini merupakan salah satu bagian dari sektor industri manufactur nasional yang akan menerima dampak, baik dampak positif maupun negatif secara langsung dari pemberlakuan GATT-WTO. lebih-lebih dalam mengahadapi pasar bebas ASEAN pasca AFTA sejak tahun 2003 yang kemudian diikuti oleh pasar bebas Cina-ASEAN melalui kesepakatan CAFTA sejak Tangga 1 Januari tahun 2010, kemudian APEC yang akan berlaku untuk negara berkembang pada tahun 2020.
Bertititolak dari uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu Bagaimana prinsip hukum perdagangan internasional di bidang tarif dan Bagaimana penerapan tarif impor dalam perdagangan internasional menurut ketentuan GATT-WTO, AFTA dan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia.

II.      PEMBAHASAN
A. PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI BIDANG TARIF
Secara garis besarnya prinsip-prinsip hukum dalam perdagangan internasional menghendaki perlakuan tarif yang sama atas setiap produk baik terhadap produk impor maupun produk domestik. Tujuan penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.
Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut bersifat liberal yang menganggap semua negara sama kuatnya di bidang ekonomi. Namun demikian, persoalanpun timbul ketika muncul negara-negara berkembang yang baru merdeka setelah perang dunia kedua. Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan negara industri maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akibatnya asas persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru memperbesar ketidakadilan. Prinsip-prinsip hukum Perdagangan Internasional di bidang tarif dalam GATT/WTO, adalah sebagai berikut:
1.     Prinsip Non Diskriminasi yang meliputi:
a.      Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle)
Prinsip ini diatur dalam Pasal I ayat (1) GATT 1947, yang berjudul General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.
Menurut Pasal I ayat (1) GATT, mengharuskan perlakuan MFN atas semua konsesi tarif yang diperjanjikan yang menyatakan bahwa:
“ With respect to custom duties and charges and any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed or the international transfer of payment for  imports and exports, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation; and with respect to all matters referred to paragraph 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege, or immunity granted by contracting, party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties”     
Maksud dari prinsip ini, adalah apabila suatu negara pertama (pengimpor) memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua (pengekspor), maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempat, dan seterusnya (pengekspor lainya). Dengan kata lain, suatu negara yang memberikan keuntungan kepada negara yang satu, wajib menyebarluaskan keuntungan yang serupa kepada negara lainnya, asalkan negara-negara tersebut sama-sama berada dalam satu free trade area (FTA), misalnya antara sesame negara-negara anggota AFTA, dan produk diimpor tersebut adalah barang yang serupa.
Pengecualian terhadap prinsip Most Favored Nations (MFN), sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT 1947, bahwa prinsip ini tidak berlaku:
1) Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India.
 2) Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences) sejak tahun 1971).
b.      Prinsip National Treatment (NT Principle)
Prinsip ini diatur diatur dalam Pasal III GATT 1947, berjudul National Treatment on International Taxtation and Regulation. Prinsip ini menyatakan bahwa, “this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.
Dengan demikian, prinsip ini merupakan prinsip non diskriminasi antar produk dalam negeri dengan produk serupa dari luar negari. Artinya, apabila suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka produk impor itu harus mendapat perlakuan yang sama, seperti halnya perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang serupa (produk lokal). Prinsip ini dipergunakan, dengan maksud untuk menciptakan harmonisasi dalam perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakukan yang diskriminatif antara produk domestik dan produk impor, artinya kedua produk tersebut harus mendapatkan perlakukan yang sama.        
2.      Prinsip Resiprositas (Reciprocity), Pasal II GATT 1947
Prinsip ini mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalulintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan bebas.
Prinsip Resiprosias merupakan prinsip fundamental dalam perdagangan internasional, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan (Preambule) GATT antara lain, bahwa, ”being desirous of contributing to these objectives desirous of contributing to these objectives but entering into reciprocal and mutually advantageous arrangement....”
Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan perdagangan internasional.
3.      Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif.
Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT 1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang disebutkan dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini, adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restraints). Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan dalam prakteknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-peluang subyektif lainnya. Oleh karena itu maka hukum perdagangan internasional melaui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif. Adanya prinsip transparansi membawa akibatkan bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk diterapkan. Karenanya prinsip ini seringkali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.
Prinsip ini dikecualikan dalam hal:
a. Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Pasal XII - XIV GATT 1947). 
b.  Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Pasal XIX GATT 1947).
c.      Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (pasal XX dan XXI GATT 1947). 
4.Prinsip Perdagangan yang Adil (Fairness)
Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang Dumping (Pasal VI) dan Subsidi (Pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
Oleh karena subsidi dan dumping dinilai sebagai praktek ekonomi yang tidak adil atau curang, maka WTO mengaturnya dengan menyatakankan bahwa, apabila suatu negara terbukti melakukan praktek tersebut, maka negara pengimpor yang dirugikan oleh praktek itu mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan, Sanksi balasan itu adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan "bea masuk anti dumping" yang dijatuhkan terhadap produk-produk yang diekspor secara dumping dan countervailing duties atau bea masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan fasilitas subsidi. 
5.      Prinsip Tarif Mengikat (Tariff Binding Principle)
Setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat, prinsip ini diatur dalam Pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995
Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif bea masuk). Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif secara bertahap.
Penerapan tarif impor mempunyai beberapa fungsi adalah sebagai berikut:[3]
1.      Tarif sebagai pajak, adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pengutan oleh negara untuk untuk dijadikan kas negara
2.      Tarif untuk melindungai produk domestik dari praktik dumping yang dilakukan oleh negara eksportir.
3.      Tarif untuk memberikan balasan terhadap negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktik subsidi terhadap produk ekspor.   

B.     PENERAPAN TARIF IMPOR DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
1. Pengertian Tarif
Tariff tidak secara tegas didefinisikan dalam ketentuan GATT, melainkan hanya menyebutkan istilah “Customs, duties, and charges” dalam kaitannya dengan kegiatan ekspor-impor. Menurut John J. Harter, dalam Taryana Sunandar, bahwa yang dimaksud tarif adalah “Pajak yang dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak ini khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu ke wilayan yang lain, atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut”.[4] 
Dengan demikian bahwa tarif hanya dikenakan terhadap barang yang melintasi batas suatu negara. Karena itu tarif berbeda dengan pajak atas barang yang berada di dalam negeri (pajak impor). Hal ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh John H. Jakson dalam Taryana Sunandar yang menyatakan bahwa,“… the tariff, which is, of course a tax import at the border in importer”. [5]
Tarif impor dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: [6] 
a.     Ad-valorem tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan pada prosentase nilai (harga) barang yang diimpor. Misalnya harga barang A. 100 dolar, telah dikenakan tariff sebesar 10 persen, maka barang tersebut akan dikenakan tarif 10 persen dari 100 dolar yaitu 10 dolar.
b.    Specifict tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan per-unit atau perjumlah barang. Misalkan tarif akan dikenakan sebesar 10 dolar per ton atau 5 persen untuk setiap ton.
c.      Mixed tariff, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan sistem kombinasi dari kedua bentuk tarid di atas. Misalnya tarif dikenakan 5 persen per kilogram plus 10 persen dari jumlah nilai barang.       
Dari ketiga macam tarif tersebut ad valorem tarif merupakan tarif yang paling banyak digunakan dalam skedul konsesi GATT/WTO, dan jenis tarif ini juga diterapkan oleh Indonesia.            
 Selain ketiga bentuk tarif di atas, ada variasi lain dari tarif yaitu “Quota tariff” adalah tarif rendah yang dikenakan terhadap jumlah volume impor tertentu. Apabila volume impor dari negara tertentu (misalnya Jepang) untuk jumlah barang tertentu, seperti kendaraan roda empat yang dalam jangka waktu tertentu, misalnya tiga tahun, melebihi volume yang diizinkan, maka kelebihan akan dikenakan tarif tinggi. Contoh: impor sepeda dikenakan kuota tarif sebesar sepuluh persen untuk volume barang sebanyak sepuluh ribu buah dalam setahun. Apabila volume itu melebihi jumlah sepuluh ribu buah, maka kelebihannya akan dikenakan tarif sebesar sepuluh persen.
2.      Penerapan Tarif Impor menurut ketentuan GATT-WTO
Pada perundingan putaran pertama di Genewa, Swiss yang disebut dengan putaran Genewa pertama kali disepakati terbentuknya GATT (General Agreement on Tariff and Trade) atau Persetujuan tentang Tarif dan Perdagangan). Pertemuan GATT (GATT Conference 1947) yang diikuti oleh 23 negara peserta berhasil menyetujui konsesi penurunan tarif sebanyak 45.000 produk dengan nilai sebesar AS $ 10 miliar. Daftar konsesi tersebut yang diterima sebagai komitmen penerapan tarif yang diatur dalam Pasal (Article) II GATT tentang Skedul Konsesi (Schedules of Consession).
Setelah perundingan Jenewa 1947, upaya penurunan tarif terus menerus dilakukan antara lain melalui perundingan Annecy (Prancis)1949,  Perundingan Torquay (Inggris) 1954, Perundinga Jenewa (Swiss) Tahun 1955-1956, Perundingan Dillon Round 1961-1962, Perundingan Kennedy Round (Amerika Serikat) 1964-1967, dan Perundingan Tokyo Round 1973-1979. Perundingan-perundingan tersebut belum berhasil menyepakati standar penerapan tarif impor secara global, serta belum mampu mewujudkan terberntuknya suatu organisasi perdagangan internasional yang mewadahi dan menaungi kegiatan perdagangan antar bangsa.
Dengan disenggarakannnya Perundingan multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berakhir di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994 merupakan pertemuan yang sangat bersejarah bagi dunia perdagangan, karena selain berhasil disepakati penurunanan tariff sampai dengan 40 % hingga 30% juga disepakati terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Perundingan ini diawali oleh pertemuan (summit) tingkat Menteri, di Punta del Este, Uruguay bulan September 1986 sehingga disebut dengan Putaran Uruguay (Uruguay Round). Pertemuan ini kemudian dilanjutkan di Montreal (Kanada) yang disebut dengan Mid-term Review Montreal 1988, dan di Brussel (Belgia) pada bulan Desember 1990.
Pada pertemuan tingkat menteri di Punta del Este, negara-negara peserta telah menghasilkan kesepakatan atau pernyataan bersama yang disebut dengan Deklarasi Punta del Este. Deklarasi tersebut selain menentukan substansi yang akan dirundingkan, juga menentukan bahwa ruang lingkup perundingan yang diperluas mencakup masalah baru atau new issues yang sebelumnya tidak pernah disentu oleh GATT, yakni (a) Masalah perdagangan jasa; (b) Masalah hak atas kekayaan intelektual, dan (c) Masalah kebijakan dalam investasi yang berkaitan dengan perdagangan.
Perundingan putaran Uruguay berbeda dengan perundingan multilateral yang secara berkala diselenggarakan oleh GATT. Menurut HS Kartadjoemena, sekurang-kurangnya ada tiga hal pokok yang membedakan Uruguay Round dengan Putaran GATT yang sebelumnya, yaitu:[7] 
a.      Substansi yang dirundingkan kali ini jauh lebih luas dari pada substansi yang biasa ditangani dalam rangka putaran perundingan perdagangan multilateral yang diselenggarakan oleh GATT.
b.      Partisipasi negara berkembang kali ini jauh lebih terasa daripada putaran perundingan Putaran GATT sebelumnya.
c.      Perundingan kali ini juga mencakup perubahan institusional, sehingga dari awal dibayangkan dapat mencapai kesepakatan agar GATT sebagai lembaga akan diperkuat secara berarti.
Ketiga hal tersebut akan mempunyai dampak yang cukup luas bagi negara-negara peserta karena hasil perundingan Uruguay Round akan menyentuh lebih banyak hal dan lebih banyak pihak dari pada hasil perundingan sebelumnya.
Substansi yang disepakati dalam Uruguay Round, menurut J. Soedradjad Djiwandono HS Kartadjoemena[8], “secara keseluruhannya, bidang-bidang perma-salahan dapat dikelompokkan menjadi lima belas kelompok permasalahan, yaitu:  tariffs, non tariffs measures, natural resource based products, textile and clothings, agreculture, tropical products, GATT articles, MTN arrangements and agreements, safeguards, subsidies, trade related aspects of intelectual property rights (TRIPS), trade related aspects of investment measures (TRIMs), dispute settlements, functioning of the GATT system (FOGS,), dan trade in services.
Khususnya perundingan di bidang tariff merupakan bagian yang paling lama ditangani oleh GATT. Semenjak perundingan multilateral Putaran GATT pertama di Genewa tahun 1947 hingga berakhirnya Putaran Uruguay Round tahun 1994 upaya penurunan tariff selalu menjadi perdebatan di antara peserta perundingan. Upaya menurunan tariff sejak berdirinya GATT 1947 telah banyak mencapai kemajuan, hingga pada akhirnya pada perundingan Uruguay Round penurunan tariff mencapai 30 % dari sebelumnya.
Adapun tujuan perundingan tariff adalah untuk mengadakan negosiasi antar negara-negara yang paling berkepentinan dalam masing-masing produk untuk mengadakan pertukaran konsesi yang hasilnya adalah penurunan tariff. Tahap kemudian adalah untuk memberlakukan secara non diskriminasi kepada semua peserta, yang merupakan penerapan prinsip Most-Favoured Nation (MFN)
Faktor utama yang menyebabkan sulitnya penurunan tingkat tariff yaitu:[9]
 a. Jenis tariff yang belum diturunkan oleh negara-negara maju adalah tariff bagi jenis produk yang secara politis cukup sensitive seperti tekstil. Tarif impor produk seperti ini sulit diturunkan.
b. Negara-negara maju berpendapat bahwa pada masa yang lalu negara berkembang telah banyak memperoleh kelonggaran khusus (special leniency). Oleh karena itu kini negara-negara berkembang juga diwajibkan memberikan kontribusi dalam cuts and binding atau penurunan tariff yang diterapkan secara mengikat.
c.  Pada sebahagian negara maju maupun sebahagian negara berkembang, terdapat produk yang tingkat tariff belum dikenakan binding, seperti hasil pertanian. Mereka umumnya setuju bahwa prevalance of bound tariff perlu ditingkatkan namun sulit untuk mencapai kata sepakat mengenai tingkatb tariff yang harus diterapkan.
Pada pertermuan tingkat menteri di Punta del Este tahun 1986, negara-negara berkembang mengharapkan dalam perundingan di bidang tariff adanya komitmen untuk menerapkan tariff binding yang harus dilaksanakan sepenuhnya. Dalam proses Putaran Uruguay untuk pertama kali negara berkembang mendapat tekanan dari negara maju untuk melakukan binding serta penurunan bidang tingkat tariff semakin meningkat Kesepakatan yang dicapai pada pertemuan tingkat menteri di Montreal tahun 1988 menentukan bahwa Uruguay Round harus menghasilkan penurunan tariff secara menyeluruh sekitar 30 % dari tingkat sebelumnya. Penurunan tersebut tidak dapat dilakukan secara menyeluruh karena AS tidak menyetujuinya, sehingga kesepakatan penurunan tingkat tariff adalah mendekati nilai komitment Montreal yang harus dilakukan dalam negosiasi line-by-line untuk setiap mata tariff.   
Selanjutnya dalam perundingan Mid Term Review di Montreal, negara-negara peserta menganggap penting akan keberhasilan yang dicapaidalam penerapan perbaikan yang nyaa atas kondisi akses pasar (market access). Negara peserta sepakat bahwa perundingan konsesi tariff harus menggunakan current nomenclatures dan bahwa bese rates untuk perundingan adalah bound MFN rates, dan untuk unbound rates adalah tingkat normal yang dilakukan pada bulan Desember 1986. Pada sidang Mid-Term Review tingkat menteri disepakati komitmen penurunan tariff sebesar sekitar 30%.      
Dalam kenyataannya perundingan untuk menurunkan tariff terbukti jauh lebih rumit dari pada yang dibayangkan dari pada ketika Uruguay Round di mulai di Punta del Este 1989. Perundinga tingkat menteri di Brussel tidak menghasilkan pertukaran konsesi yang konkrit di bidang tariff karena terjadi kemacetan poitis dalam Uruguay Round sebagai akibat perbedaan antara AS dan ME di bidang pertanian. Perbedaan tersebut praktis menhentikan perundingan di semua bidang. 
Penurunan tariff sebesar 30 % di bawah rata-rata sesuai dengan komitmen Montreal, bagi Indonesia hal itu dapat menyulitkan apabila ada produk yang sensitive unrtuk diterapkan penurunan tariff sebesar itu. Kesulitan ini akhirnya dapat diatasi dengan menggunakan suatu prosedur yang dikembangkan oleh Chairman dari kelompok negosisi Market Access. Berdasarkan hal tersebut Indonesia akhirnya mengambil pendekatan untuk melakukan binding terhadap sebahagian besar dari produk impor Indonesia pata tingkat tarif maksimal 40%.
Perundingan Uruguay Round bagi Indonesia merupakan kesempatan untuk melakukan reformasi secara menyeluruh mengenai ketentuan tariff, sehingga Indonesia dapat melakukan offer yang credible dan logis tanpa menimbulkan beban yang terlalu berat. Pendekatan yang diambil oleh Indonesia dalam WTO mempermudah Indonesia untuk menentukan cara liberalisasi yang ditempu dalam konteks ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Adapun ringkasan dari hasil kesepakatan Uruguay Roun adalah sbb:
a.      Kesepakatan sidang Montreal menentukan agar negara peserta menurunkan tingkat tariff sampai 30% dari tingkat sebelumnya.
b.      Karena tidak semua negara peserta dapat melakukannya, maka dapat dicapai adalah melakukan menurunan selektif secara total mempunyai dampak penurunan sebesar 30% trade weighted.
c.      Negara peserta berunding untuk mengadakan tukar menukar konsesi penurunan tariff secara spesifik dengan mitra dagangnya dengan pendekatan item-by item melalui proses request and offer.
d.      Bagi Indonesia yang dilakukan bukan penurunan tingkat tariff 30% dari tingkat sebelumnya, melainkan penentuan tingkat tariff maksimal 40% untuk 95% dari produk yang diimpor.
e.      Komitmen Indonesia terhadap sejumlah produk yang dikenakan binding walaupun tingkat tarif maksimal masih tinggi yakni 40%.
Dengan ikut sertanya negara-negara berkembang sebagai perserta aktif pada perundingan perdagangan internasional Putaran Uruguay, maka pada tahun-tahun akan datang negara-negara berkembangan akan semakin aktif berperan serta dalam setiap kegiatan-kegiatan perdagangan dunia, baik bilateral maupun multilateral. Hal ini diwarnai oleh semakin banyaknya kepentingan negara berkembang dalam kegiatan perdagangan dan perekonomian dunia.
3.      Penerapan Tarif Pasca AFTA (Asean Free Trade Area)  2003
Dalam proses mewujudkan AFTA sebagai salah satu blok perdagangan bebas, Negara-negara anggota ASEAN telah melaksanakan berbagai perjanjian, tidak saja menyangkut perjanjian barang melainkan diperluas dengan memasukkan perdagangan jasa, bahkan masalah-masalah lain yang terkait dengan perdagangan, seperti investasi dan hak kekayaan intelektual. 
Salah satu perjanjian yang sangat penting yang telah disepakati oleh Negara-negara anggota ASEAN adalah The Agreement Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang ditandatangani tanggal 28 Januari 1992. Perjanjian ini dianggap terpenting dari perjanjian lainnya karena CEPT merupakan mekanis awal terwujudnya AFTA dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002, berbeda dengan perjanjian lain yang berlaku masih belum efektif.
Perjanjian CEPT ini berisi kesepakatan Negara-negara anggota ASEAN untuk menghapus dan mengurangi hambatan berupa tarif dan non tarif atas barang yang telah disepakati yang berasal dari Negara-negara anggota ASEAN. Tujuan utama adalah agar terjadi perdagangan antar ASEAN yang lebih intens. Dengan berlakunya CEPT negera anggota ASEAN diharapkan tidak akan mengenakan tarif sebesar 0% atau paling tinggi mengenakan tarif sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Pasal 4 CEPT. Selanjutnya kepada Negara-negara anggota ASEAN diwajibkan untuk menghapuskan segala pembatasan kuantitatif dan meng-hapuskan secara gradual hambatan non tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 CEPT.[10]
Dengan diberlakukannya perjanjian CEPT maka program penuranan tarif sejak tahun 1993 sudah berlaku pada tahun 2003 menjadi 0 - 5%. Rencana penurunan tarif tersebut telah dipertegas lagi dalam sidang Menteri Ekonomi ASEAN di Chiangmai Thailand tahun 1995 yang menyatakan bahwa” produk-produk industri yang belum bersaing di pasar ASEAN akan bertahap masuk ke dalam cakupan CEPT-AFTA. Produk-produk industri tersebut paling lambat masuk dalam cakupan CEPT tahun 2000 dengan maksimum tarif 20%, sedangkan produk pertanian yang belum diolah (Unprocessed Agriculture Products) paling lambat masuk pada tahun 2003 dengan tarif 5%.
4.      Penerapan Tarif Impor menurut Tata Hukum Indonesia
Untuk merealisasi pengaturan tentang tarif impor, Pemerintah kemudian mengeluarkan UU. No. 10 Tahun 1995 tentang “Kepabeanan” yang kemudian diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006, sebagai dasar hukum tentang tarif, yaitu dari Pasal 12 hingga Pasal 17A.
Dalam Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa “Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen (40 %) dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk”. Nilai pabean untuk penghitung Bea Masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan (Pasal 15). Penetapan Tarif dan Nilai Pabean dilakukan oleh Pejabat Bea Cukai, hal ini  dalam (Pasal 16)   
Penerapan ketentuan bea masuk sebesar 40 % mengacu kepada UU. No.7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan dari Undang-undang ini yang menyatakan, “Dengan memperhatikan Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum dalam ayat ini adalah ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh persen termasuk Bea Masuk Imbalan (BMI) dan yang pada waktu diundangkannya undang-undang ini masih  terhadap barang-barang tertentu. Namun dengan tetap memperhatikan kemampuan daya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di bidang tarif harus senantiasa ditujukan untuk menurunkan tarif yang ada dengan tujuan:
a.      meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional
b.      melindungi konsumen dalam negeri
c.      mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung terciptanya perdagangan bebas”. 
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (2) ditetapkan beberapa barang impor yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1). Pengecualian ini dilakukan berdasarkan notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT). Barang-barang impor yang dikecualikan yaitu:
a.      Barang impor hasil pertanian tertentu sebagaimana tercantum dalam skedul XXI Indonesia. Produk tersebut tarif Bea Masuknya ditetapkan pada tingkat yang lebih tinggi dari ketentuan 40 %, dengan tujuan untuk menghapus penggunaan hambatan non tarif sehingga menjadi tarifikasi.
b.      Barang impor termasuk dalam daftar eksklusif skedul XXI Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan. Barang tersebut dikecualikan demi kepentingan
c.      Barang impor sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU ini.    
Selain ketentuan mengenai Tarif Bea Masuk sebesar maksimal 40% (empat puluh persen) dari nilai pabean sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1), ada beberapa barang yang tarif bea masuknya berbeda  (dikecualikan) dari ketentuan Pasal 12 ayat (1). Barang-barang tersebut diatur dalam Pasal 13, yaitu: 
a.      Barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional, seperti antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara-negara lain, misalnya Bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff for Asean free Trade Area (CEPT for ASEAN)   
b.      Barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. Perbedaan tarif terhadap barang-barang tersebut dari ketentuan pasal 12 ayat (1), dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat penyelesaian barang-barang impor tersebut, misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu mengingat barang tersebut umumnya terdiri dari beberapa jenis saja.    
c.      Barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif atau secara tidak wajar oleh suatu negara, misalnya pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan Bea masuk. Barang impor yang demikian dapat dikenakan tarif yang berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).  
Prinsip yang dianut dalam pembayaran bea masuk sebagaimana di atur dalam Pasal 16 adalah ”asas perhitungan sendiri (self assessment)”. Namun demikian, Pejabat Bea dan Cukai tetap diberi wewenang untuk meneliti dan menetapkan tarif dan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk yang tersebut dalam pemberitahuan pabean yang diserahkan importir. Penetapan tarif dapat diberikan sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean atas impor diserahkan, sedangkan penetapan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk hanya dapat diberikan setelah Pemberitahuan Pabean diserahkan.
Pada dasarnya penetapan Pejabat Bea dan Cukai dalam Pasal 17 (1) bersifat mengikat dapat dilakasanakan. Akan tetapi jika hasil pemeriksaaan ulang atas pemberitahuan pabean atau kelebihan pembayaran Bea Masuk, untuk pengamanan penerimaan negara atau menjamin hak pengguna jasa, maka Direktur Jendral dapat membuat penetapan baru. 
Untuk menghadapi liberalisasi perdagangan, selain peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan mutu produk, yang tidak kalah penting adalah pengembangan institusi terutama di sektor perindustrian dan perdagangan, serta penyempurnaan instrumen hukum di bidang hukum ekonomi/bisnis. Pengembanan di bidang hukum bisnis mutlak diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang berkembang dewasa ini. Instrumen hukum baru yang berupa peraturan di bidang bisnis sangat diperlukan karena masih banyak persoalan hukum yang menyangkut masalah-masalah ekonomi/bisnis yang belum diatur dalam kitab undang undang hukum perdata maupun kitab undang hukum dagang yang berlaku di Indonesia, termasuk mengenai perdagangan internasional.

III. PENUTUP
Bertititolak dari uraian dia atas maka dapat disimpukan sebagai berikut:
1.      Secara garis besarnya prinsip-prinsip hukum dalam perdagangan internasional menghendaki perlakuan yang sama atas setiap produk baik terhadap produk impor maupun produk domestik. Tujuan penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT. Adapaun prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a.      Prinsip Non Diskriminasi yang terdiri atas,  Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle adalah prinsip non diskriminasi yang memberikan perlakaukan yang samam terhadap produk sama yang berasal dari negara-negara sesama Free Trade Area misalnya AFTA, dan Prinsip National Treatment (NT Principle) adalah prinsip non diskriminasi yang memberikan perlakuan yang samaam antara produk impor dan produk dalam negeri
b.      Prinsip receprositas adalah prinsip memberikan perlakuan timbal balik Prinsip ini mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.
c.         Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini, adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restraints).
a.      Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (pasal XX dan XXI GATT 1947). 
b.      Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang subsidi dan Dumping karena subsidi dan dumping dinilai sebagai praktek ekonomi yang tidak adil atau curang
2.      Penerapan tariff dalam perdafangan internasional selain mengacu pada ketentuan GATT-WTO berdasarkan kesepakatan dalam perundingan Uruguay Round 1994 yaitu mengacu pada tarif maksimum 305% hingga 40% dari nilai barang yang masuk di kepabeanan, sementara penerapan tarif pasca AFTA yaitu 0% hingga 5% yang mengacu pada kesepakatan "The Agreement Common Effective Preferential Tariff (CEPT) 1992.. Adapun penerapan menurut Peraturan perundang-undangan Indonesia adalah berdasarkan UU No. 10 Tahun 1995 adalah tariff maksimal 40% dari harga barang yang masuk di pabean, kecuali terhadap negara anggota AFTA mengacu pada netentuan CEPT 1992   
Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia diharapkan dapat memberikan perubahan kearah pengembangan ekonomi Indonesia, terutama mendorong kemajuan industri kecil dan menengah sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Oleh karenan itu peranan GATT-WTO bagi Indonesia bukan hanya sekedar mendorong perdagangan bebas, melainkan perdagangan yang adil yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan negara berkembang temasuk Indonesia.    


DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti), 2004
Kartadjoemena, HS. GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan, cet. Pertama (Jakarta: UI Press, 1996
Prayitno, Hadi dan Budi Santosa, Ekonomi Pembangunan, Cet. Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
Sood, Muhammad. Pengantar Hukum Perdagangan Internasional. (Mataram: Mataram University Press) 1995
Sumantoro, Sumantoro, Naskah Akademis Peraturan Perundan-undangan RUU Tentang Perdagangan Inernasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1997/1998
Sunandar, Taryana. Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional Dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO,  (Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman, 1996



[1] Sumantoro, Sumantoro, Naskah Akademis Peraturan Perundan-undangan RUU Tentang Perdagangan Inernasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1998, hal. 4-5.
[2] Muhammad Sood, Pengantar Hukum Perdagangan Internasional, (Mataram: Mataram University Press) 1995, hal. 18
[3]Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti), 2004
[4]Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional Dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO,  (Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman, 1996), hal. 11
[5]Ibid.
[6]Ibid
[7] HS. Kartadjoemena, GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan, cet. Pertama (Jakarta: UI Press, 1996), hal 212
[8] Ibid,  hal. v
[9]. Ibid, hal 63-64.
[10] Ibid, hal, 7