PENERAPAN TARIF IMPOR BERDASARKAN
KETENTUAN
GATT-WTO, AFTA DAN PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
(The Aplication of Import Tariff according to The Rule of
GATT-WTO, AFTA and Indonesian Legislations)
By: Oleh Muhammad Sood, SH, MH
ABSTRACT
International trade is a
part of businesses activity that latterly develops quickly. It can be seen from
more progressive the circulation of goods, services, and capital from a state
to another state, such as through export and import activity, investment,
service commerce, etc. Therefore as logical consequence of this progress
especially in facing of liberalization era in commercial sector, the change and
development in law field must be conducted especially in the field of business
law, including the regulation of import tariff.
As the member of the world trade through the agreement result of Uruguay
Round Conference 1994, Indonesia have ratified the Acts Number 7 Year 1994
about “The Ratification of Agreement on Establishing the World Trade Organization/WTO”
has consequence that Indonesia have to obey the whole of agreement result in
WTO forum, and to do harmonization of national legislations in accordance with
the GATT-WTO principles.
According to the
agreement of Uruguay Round Conference 1994, so the application of import tariff
in GATT-WTO regulation is based on maximum tariff: maximal 30% to 40% of custom
duties. Beside that as the member of ASEAN, Indonesia has become the part of
AFTA (ASEAN Free Trade Area) since 2003 with the tariff standard is about 0% to
5%. The Application AFTA is base on the agreement result of “"The Agreement
Common Effective Preferential Tariff (CEPT)
1992.
Meanwhile the application on tariff in
Indonesian regulation is the maximum tariff 40% of custom values. To realize
the application of import tariff Government than issue the Acts Number 10 Year
1995 about custom regulation. In the Article 12 section (1) explained that “the
import goods is withhold base on maximum tariff 40% of custom value for the
account of import tariff” except on the AFTA members states, because they have
applied the tariff value about 0% to 5% of custom value base on CEPT agreement.
Keywords: international trade, import, tariff, maximum tariff. Custom values.
I.
PENDAHULUAN
Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian
dari kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis internasional
juga semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin berkembangnya arus
peredaran barang, jasa, tenaga kerja maupun, modal dari suatu negara ke negara
lain demikiaan pula sebaliknya. Kegian-kegiatan tersebut dapat terjadi baik
melalui kegiatan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan
waralaba (license and franchise), hak atas kekayaan intelektual; atau
kegiatan-kegiatan bisnis lainnya yang terkait dengan perdaganan internasional,
seperti perbankan, asuransi, perpajakan dan sebagainya.
Untuk mengantisipasi liberalisasi perdagangan
internasional, Indonesia telah menentukan arah kebijaksanaan di bidang hukum yang mendukung kegiatan
ekonomi, sebagaimana dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1999-2004, Tap MPR No.IV/MPR/1999. Hal ini telah
dinyatakan dalam butir 7, bahwa Indonesia harus mengembangkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
Menurut
Sumantoro, Istilah “perdagangan internasional” sebenarnya adalah kegiatan
pertukaran barang, jasa dan modal antara penduduk suatu negara dengan penduduk
negara lain. Perdagangan internasional merupakan kegiatan perniagaan dari suatu
negara asal yang melintasi perbatasan menuju suatu negara tujuan yang dilakukan
oleh perusahaan untuk melakuakan perpindahan barang, jasa, tenaga kerja
teknologi dan merek dagang”.[1]
Sebagai salah satu negara yang
telah menjadi anggota organisasi perdagangan internasional, Indonesia terikat
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang disepakati
dalam perundingan GATT-WTO. Ketentuan-ketentuan tersebut sedikit banyak
memberikan pengaruh terhadap sistem dan pranata hukum nasional di sektor
perdagangan termasuk pada kegiatan industri kecil. Pengaruh tersebut tidak
dapat dihindari terutama dalam pembangunan ekonomi nasional, karena Indonesia
telah menganut sistem perdagangan bebas semenjak ditandatanginya persetujuan
Perundingan Putraran Uruguay (Uruguay Round) yang berakhir di
Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994.
Masuknya Indonesia sebagai anggota
perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement on
Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal
maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil
kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil
kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi, Indonesia harus tetap
memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.[2]
Keikutsertaan Indonesia dalam
perjanjian perdagangan internasional baik pada tataran global (GATT-WTO) maupun
regional (AFTA, APEC dan CAFTA) diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi terutama sektor usaha industri kecil dan menengah baik secara nasional
maupun internasional, sehingga peranan industri kecil dan menengah merupakan
salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu
kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang didukung oleh kemajuan di
bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna menunjang
pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Untuk itu pentingnya upaya perlindungan
terhadap kelompok industri kecil dan menengah melalui upaya penerapan tarif
bagi produk impor, karena kedua kelompok ini merupakan salah satu bagian dari
sektor industri manufactur nasional yang akan menerima dampak, baik dampak
positif maupun negatif secara langsung dari pemberlakuan GATT-WTO. lebih-lebih
dalam mengahadapi pasar bebas ASEAN pasca AFTA sejak tahun 2003 yang kemudian
diikuti oleh pasar bebas Cina-ASEAN melalui kesepakatan CAFTA sejak Tangga 1
Januari tahun 2010, kemudian APEC yang akan berlaku untuk negara berkembang
pada tahun 2020.
Bertititolak dari uraian di atas
maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu Bagaimana prinsip hukum perdagangan
internasional di bidang tarif dan Bagaimana penerapan tarif impor dalam
perdagangan internasional menurut ketentuan GATT-WTO, AFTA dan Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
A.
PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI BIDANG TARIF
Secara garis besarnya prinsip-prinsip hukum dalam
perdagangan internasional menghendaki perlakuan tarif yang sama atas setiap
produk baik terhadap produk impor maupun produk domestik. Tujuan penerapan
prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang teratur
berdasarkan norma hukum GATT.
Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut bersifat liberal yang menganggap
semua negara sama kuatnya di bidang ekonomi. Namun demikian, persoalanpun
timbul ketika muncul negara-negara berkembang yang baru merdeka setelah perang
dunia kedua. Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan negara industri
maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akibatnya asas
persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru
memperbesar ketidakadilan. Prinsip-prinsip hukum Perdagangan Internasional di
bidang tarif dalam GATT/WTO, adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip Non Diskriminasi yang meliputi:
a.
Prinsip
Most Favoured Nation (MFN
Principle)
Prinsip ini diatur dalam Pasal I ayat
(1) GATT 1947, yang berjudul General
Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap
produk sesama negara-negara anggota WTO.
Menurut Pasal I ayat (1) GATT,
mengharuskan perlakuan MFN atas semua konsesi tarif yang diperjanjikan yang
menyatakan bahwa:
“ With respect to custom duties and charges and any kind imposed on or in
connection with importation or exportation or imposed or the international
transfer of payment for imports and
exports, and with respect to all rules and formalities in connection with
importation and exportation; and with respect to all matters referred to paragraph
2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege, or immunity granted
by contracting, party to any product originating in or destined for any other
country shall be accorded immediately and unconditionally to like product
originating in or destined for the territories of all other contracting
parties”
Maksud dari prinsip ini, adalah apabila suatu negara
pertama (pengimpor) memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan
internasional kepada negara kedua (pengekspor), maka kemudahan serupa harus
pula diberikan kepada negara ketiga, keempat, dan seterusnya (pengekspor
lainya). Dengan kata lain, suatu negara yang memberikan keuntungan kepada negara
yang satu, wajib menyebarluaskan keuntungan yang serupa kepada negara lainnya,
asalkan negara-negara tersebut sama-sama berada dalam satu free trade area (FTA), misalnya antara sesame negara-negara anggota
AFTA, dan produk diimpor tersebut adalah barang yang serupa.
Pengecualian terhadap prinsip Most Favored Nations (MFN), sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT
1947, bahwa prinsip ini tidak berlaku:
1) Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade
Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara
negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India.
2) Dalam hubungan
dagang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang melalui GSP (Generalized System of
Preferences) sejak tahun 1971).
b. Prinsip National Treatment (NT
Principle)
Prinsip ini diatur diatur dalam Pasal III GATT
1947, berjudul National Treatment on International Taxtation and Regulation.
Prinsip ini menyatakan
bahwa, “this standard provides for inland parity that is say equality for
treatment between nation and foreigners”.
Dengan demikian, prinsip ini merupakan prinsip
non diskriminasi antar produk dalam negeri dengan produk serupa dari luar negari. Artinya, apabila suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara
karena diimpor, maka produk impor itu harus mendapat perlakuan yang sama,
seperti halnya perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang serupa
(produk lokal). Prinsip ini dipergunakan, dengan maksud untuk menciptakan
harmonisasi dalam perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakukan yang
diskriminatif antara produk domestik dan produk impor, artinya kedua produk
tersebut harus mendapatkan perlakukan yang sama.
2.
Prinsip
Resiprositas (Reciprocity), Pasal II
GATT 1947
Prinsip ini mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik
di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan
internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan perdagangan
internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara,
maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk
produk dari negara yang pertama tadi. Berdasarkan
prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan
kemudahan bagi lalulintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya
diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional
yang lancar dan bebas.
Prinsip Resiprosias merupakan prinsip fundamental dalam perdagangan
internasional, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan (Preambule) GATT antara lain, bahwa, ”being desirous of contributing to these objectives desirous of
contributing to these objectives but entering into reciprocal and mutually
advantageous arrangement....”
Prinsip
ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua
negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi
yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya
dalam perdagangan perdagangan internasional.
3. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif.
Prinsip penghapusan hambatan
kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT
1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang
disebutkan dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan
merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini, adalah
kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restraints). Menyadari
bahwa kuota cenderung tidak adil, dan dalam prakteknya justru menimbulkan
diskriminasi dan peluang-peluang subyektif lainnya. Oleh karena itu maka hukum
perdagangan internasional melaui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis
hambatan kuantitatif. Adanya prinsip transparansi membawa akibatkan bahwa negara-negara
anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak
boleh menggunakan kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang
diizinkan untuk diterapkan. Karenanya prinsip ini seringkali disebut sebagai
tarifikasi hambatan perdagangan.
Prinsip ini dikecualikan dalam
hal:
a. Negara yang mengalami kesulitan
neraca pembayaran diizinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Pasal XII
- XIV GATT 1947).
b. Karena industri domestik negara pengimpor
mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka
negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Pasal XIX GATT 1947).
c.
Demi kepentingan
kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara
tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip
ini (pasal XX dan XXI GATT 1947).
4.Prinsip
Perdagangan yang Adil (Fairness)
Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang Dumping (Pasal VI) dan Subsidi (Pasal
XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan
tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain,
kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam
perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan
praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
Oleh karena subsidi dan dumping dinilai sebagai praktek ekonomi yang tidak
adil atau curang, maka WTO mengaturnya dengan menyatakankan bahwa, apabila
suatu negara terbukti melakukan praktek tersebut, maka negara pengimpor yang
dirugikan oleh praktek itu mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan,
Sanksi balasan itu adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut
dengan "bea masuk anti dumping" yang dijatuhkan terhadap
produk-produk yang diekspor secara dumping dan countervailing duties
atau bea masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan
fasilitas subsidi.
5.
Prinsip
Tarif Mengikat (Tariff Binding Principle)
Setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun besarnya tarif yang
telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat, prinsip ini diatur dalam Pasal II ayat
(1) GATT-WTO 1995
Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif
oleh WTO dipandang sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya
melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif
bea masuk). Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
Namun demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan
mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif
secara bertahap.
Penerapan tarif impor mempunyai beberapa fungsi adalah
sebagai berikut:[3]
1. Tarif
sebagai pajak, adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang
merupakan pengutan oleh negara untuk untuk dijadikan kas negara
2. Tarif untuk melindungai produk domestik dari praktik dumping yang dilakukan
oleh negara eksportir.
3. Tarif untuk memberikan balasan terhadap negara pengekspor yang melakukan
proteksi produk melalui praktik subsidi terhadap produk ekspor.
B.
PENERAPAN TARIF IMPOR DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
1. Pengertian
Tarif
Tariff tidak secara
tegas didefinisikan dalam ketentuan GATT, melainkan hanya menyebutkan istilah “Customs, duties, and charges”
dalam kaitannya dengan kegiatan ekspor-impor. Menurut John J. Harter, dalam
Taryana Sunandar, bahwa yang dimaksud tarif adalah “Pajak yang dikenakan atas
barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak
ini khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu
ke wilayan yang lain, atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut”.[4]
Dengan demikian bahwa
tarif hanya dikenakan terhadap barang yang melintasi batas suatu negara. Karena
itu tarif berbeda dengan pajak atas barang yang berada di dalam negeri (pajak
impor). Hal ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh John
H. Jakson dalam Taryana Sunandar yang menyatakan bahwa,“… the tariff, which is, of course a tax
import at the border in importer”. [5]
a.
Ad-valorem tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan pada prosentase nilai (harga)
barang yang diimpor. Misalnya harga barang A. 100 dolar, telah dikenakan tariff
sebesar 10 persen, maka barang tersebut akan dikenakan tarif 10 persen dari 100
dolar yaitu 10 dolar.
b.
Specifict tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan per-unit atau perjumlah
barang. Misalkan tarif akan dikenakan sebesar 10 dolar per ton atau 5 persen
untuk setiap ton.
c.
Mixed tariff, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan sistem kombinasi dari kedua bentuk
tarid di atas. Misalnya tarif dikenakan 5 persen per kilogram plus 10 persen
dari jumlah nilai barang.
Dari ketiga macam tarif tersebut ad
valorem tarif merupakan tarif yang paling banyak digunakan dalam skedul konsesi
GATT/WTO, dan jenis tarif ini juga diterapkan oleh Indonesia.
Selain ketiga bentuk tarif di atas, ada variasi
lain dari tarif yaitu “Quota tariff” adalah tarif rendah yang
dikenakan terhadap jumlah volume impor tertentu. Apabila volume
impor dari negara tertentu (misalnya Jepang) untuk jumlah barang tertentu,
seperti kendaraan roda empat yang dalam jangka waktu tertentu, misalnya tiga
tahun, melebihi volume yang diizinkan, maka kelebihan akan dikenakan tarif
tinggi. Contoh: impor sepeda dikenakan kuota tarif sebesar sepuluh persen untuk
volume barang sebanyak sepuluh ribu buah dalam setahun. Apabila volume itu
melebihi jumlah sepuluh ribu buah, maka kelebihannya akan dikenakan tarif
sebesar sepuluh persen.
2.
Penerapan Tarif Impor menurut ketentuan
GATT-WTO
Pada perundingan putaran pertama di Genewa,
Swiss yang disebut dengan putaran Genewa pertama kali disepakati terbentuknya
GATT (General Agreement on Tariff and Trade)
atau Persetujuan tentang Tarif dan Perdagangan). Pertemuan GATT (GATT Conference 1947) yang diikuti oleh
23 negara peserta berhasil menyetujui konsesi penurunan tarif sebanyak 45.000
produk dengan nilai sebesar AS $ 10 miliar. Daftar konsesi tersebut yang
diterima sebagai komitmen penerapan tarif yang diatur dalam Pasal (Article) II
GATT tentang Skedul Konsesi (Schedules of
Consession).
Setelah perundingan
Jenewa 1947, upaya penurunan tarif terus menerus dilakukan antara lain melalui
perundingan Annecy (Prancis)1949, Perundingan Torquay (Inggris) 1954, Perundinga Jenewa (Swiss) Tahun
1955-1956, Perundingan Dillon Round 1961-1962, Perundingan Kennedy Round
(Amerika Serikat) 1964-1967, dan Perundingan
Tokyo Round 1973-1979. Perundingan-perundingan tersebut belum berhasil
menyepakati standar penerapan tarif impor secara global, serta belum mampu
mewujudkan terberntuknya suatu organisasi perdagangan internasional yang mewadahi
dan menaungi kegiatan perdagangan antar bangsa.
Dengan disenggarakannnya Perundingan
multilateral Putaran Uruguay (Uruguay
Round) yang berakhir di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994 merupakan
pertemuan yang sangat bersejarah bagi dunia perdagangan, karena selain berhasil
disepakati penurunanan tariff sampai dengan 40 % hingga 30% juga disepakati terbentuknya
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO). Perundingan ini diawali oleh pertemuan (summit) tingkat Menteri, di Punta del Este, Uruguay
bulan September 1986 sehingga disebut dengan Putaran Uruguay (Uruguay Round). Pertemuan ini kemudian dilanjutkan di Montreal (Kanada) yang
disebut dengan Mid-term Review Montreal 1988, dan di Brussel
(Belgia) pada bulan Desember 1990.
Pada pertemuan tingkat menteri di Punta del Este, negara-negara
peserta telah menghasilkan kesepakatan atau pernyataan bersama yang disebut
dengan Deklarasi Punta del Este. Deklarasi tersebut selain
menentukan substansi yang akan dirundingkan, juga menentukan bahwa ruang
lingkup perundingan yang diperluas mencakup masalah baru atau new issues yang sebelumnya tidak pernah disentu
oleh GATT, yakni (a) Masalah perdagangan
jasa; (b) Masalah hak atas
kekayaan intelektual, dan (c) Masalah kebijakan dalam investasi yang berkaitan dengan perdagangan.
Perundingan putaran Uruguay berbeda dengan perundingan
multilateral yang secara berkala diselenggarakan oleh GATT. Menurut HS Kartadjoemena, sekurang-kurangnya ada tiga hal pokok yang
membedakan Uruguay Round dengan Putaran GATT yang sebelumnya, yaitu:[7]
a. Substansi yang dirundingkan kali ini jauh lebih luas dari pada substansi
yang biasa ditangani dalam rangka putaran perundingan perdagangan multilateral
yang diselenggarakan oleh GATT.
b. Partisipasi negara berkembang kali ini jauh lebih terasa daripada putaran
perundingan Putaran GATT sebelumnya.
c. Perundingan kali ini juga mencakup perubahan institusional, sehingga dari
awal dibayangkan dapat mencapai kesepakatan agar GATT sebagai lembaga akan
diperkuat secara berarti.
Ketiga hal tersebut akan mempunyai
dampak yang cukup luas bagi negara-negara peserta karena hasil perundingan
Uruguay Round akan menyentuh lebih banyak hal dan lebih banyak pihak dari pada
hasil perundingan sebelumnya.
Substansi yang disepakati dalam
Uruguay Round, menurut J. Soedradjad Djiwandono HS Kartadjoemena[8], “secara keseluruhannya, bidang-bidang perma-salahan dapat dikelompokkan
menjadi lima belas kelompok permasalahan, yaitu: tariffs, non tariffs measures, natural resource based products, textile
and clothings, agreculture, tropical products, GATT articles, MTN arrangements
and agreements, safeguards, subsidies, trade related aspects of intelectual
property rights (TRIPS), trade related aspects of investment measures (TRIMs),
dispute settlements, functioning of the GATT system (FOGS,), dan trade in
services”.
Khususnya perundingan di bidang tariff merupakan bagian yang paling lama ditangani
oleh GATT. Semenjak perundingan multilateral Putaran GATT pertama di Genewa
tahun 1947 hingga berakhirnya Putaran Uruguay Round tahun 1994 upaya penurunan
tariff selalu menjadi perdebatan di antara peserta perundingan. Upaya menurunan
tariff sejak berdirinya GATT 1947 telah banyak mencapai kemajuan, hingga pada
akhirnya pada perundingan Uruguay Round penurunan tariff mencapai 30 % dari
sebelumnya.
Adapun tujuan
perundingan tariff adalah untuk mengadakan negosiasi antar negara-negara yang
paling berkepentinan dalam masing-masing produk untuk mengadakan pertukaran
konsesi yang hasilnya adalah penurunan tariff. Tahap kemudian adalah untuk
memberlakukan secara non diskriminasi kepada semua peserta, yang merupakan penerapan
prinsip Most-Favoured Nation (MFN)
Faktor utama
yang menyebabkan sulitnya penurunan tingkat tariff yaitu:[9]
a. Jenis tariff
yang belum diturunkan oleh negara-negara maju adalah tariff bagi jenis produk
yang secara politis cukup sensitive seperti tekstil. Tarif impor produk seperti
ini sulit diturunkan.
b. Negara-negara maju berpendapat bahwa pada masa yang lalu negara berkembang
telah banyak memperoleh kelonggaran khusus (special leniency). Oleh
karena itu kini negara-negara berkembang juga diwajibkan memberikan kontribusi
dalam cuts and binding atau penurunan tariff yang diterapkan secara
mengikat.
c. Pada sebahagian negara maju maupun
sebahagian negara berkembang, terdapat produk yang tingkat tariff belum
dikenakan binding, seperti hasil pertanian. Mereka umumnya setuju bahwa prevalance
of bound tariff perlu ditingkatkan namun sulit untuk mencapai kata sepakat
mengenai tingkatb tariff yang harus diterapkan.
Pada pertermuan
tingkat menteri di Punta del Este tahun 1986, negara-negara berkembang mengharapkan
dalam perundingan di bidang tariff adanya komitmen untuk menerapkan tariff
binding yang harus dilaksanakan sepenuhnya. Dalam proses
Putaran Uruguay untuk pertama kali negara berkembang mendapat tekanan dari
negara maju untuk melakukan binding serta penurunan bidang tingkat tariff
semakin meningkat Kesepakatan yang dicapai pada pertemuan tingkat menteri di
Montreal tahun 1988 menentukan bahwa Uruguay Round harus menghasilkan penurunan
tariff secara menyeluruh sekitar 30 % dari tingkat sebelumnya. Penurunan
tersebut tidak dapat dilakukan secara menyeluruh karena AS tidak menyetujuinya,
sehingga kesepakatan penurunan tingkat tariff adalah mendekati nilai komitment Montreal yang harus
dilakukan dalam negosiasi line-by-line untuk setiap mata tariff.
Selanjutnya dalam perundingan Mid
Term Review di Montreal, negara-negara peserta menganggap penting akan
keberhasilan yang dicapaidalam penerapan perbaikan yang nyaa atas kondisi akses
pasar (market access). Negara peserta sepakat bahwa perundingan konsesi
tariff harus menggunakan current nomenclatures dan bahwa bese rates
untuk perundingan adalah bound MFN rates, dan untuk unbound rates
adalah tingkat normal yang dilakukan pada bulan Desember 1986. Pada sidang
Mid-Term Review tingkat menteri disepakati komitmen penurunan tariff sebesar
sekitar 30%.
Dalam kenyataannya perundingan untuk
menurunkan tariff terbukti jauh lebih rumit dari pada yang dibayangkan dari
pada ketika Uruguay Round di mulai di
Punta del Este 1989. Perundinga tingkat menteri di Brussel
tidak menghasilkan pertukaran konsesi yang konkrit di bidang tariff karena
terjadi kemacetan poitis dalam Uruguay Round sebagai akibat perbedaan antara AS
dan ME di bidang pertanian. Perbedaan tersebut praktis menhentikan perundingan
di semua bidang.
Penurunan
tariff sebesar 30 % di bawah rata-rata sesuai dengan komitmen Montreal, bagi
Indonesia hal itu dapat menyulitkan apabila ada produk yang sensitive unrtuk
diterapkan penurunan tariff sebesar itu. Kesulitan ini
akhirnya dapat diatasi dengan menggunakan suatu prosedur yang dikembangkan oleh
Chairman dari kelompok negosisi Market Access. Berdasarkan hal tersebut Indonesia akhirnya mengambil pendekatan untuk
melakukan binding terhadap sebahagian besar dari produk impor Indonesia pata tingkat tarif maksimal
40%.
Perundingan Uruguay Round bagi Indonesia merupakan kesempatan untuk melakukan
reformasi secara menyeluruh mengenai ketentuan tariff, sehingga Indonesia
dapat melakukan offer yang credible dan logis tanpa menimbulkan beban yang
terlalu berat. Pendekatan yang diambil oleh Indonesia
dalam WTO mempermudah Indonesia
untuk menentukan cara liberalisasi yang ditempu dalam konteks ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Adapun ringkasan dari hasil kesepakatan
Uruguay Roun adalah sbb:
a. Kesepakatan sidang Montreal menentukan agar negara peserta menurunkan
tingkat tariff sampai 30% dari tingkat sebelumnya.
b. Karena tidak semua negara peserta dapat melakukannya, maka dapat dicapai
adalah melakukan menurunan selektif secara total mempunyai dampak penurunan
sebesar 30% trade weighted.
c. Negara peserta berunding untuk mengadakan tukar menukar konsesi penurunan
tariff secara spesifik dengan mitra dagangnya dengan pendekatan item-by item
melalui proses request and offer.
d. Bagi Indonesia yang dilakukan bukan penurunan tingkat tariff 30% dari
tingkat sebelumnya, melainkan penentuan tingkat tariff maksimal 40% untuk 95%
dari produk yang diimpor.
e. Komitmen Indonesia terhadap sejumlah produk yang dikenakan binding walaupun
tingkat tarif maksimal masih tinggi yakni 40%.
Dengan ikut sertanya
negara-negara berkembang sebagai perserta aktif pada perundingan perdagangan
internasional Putaran Uruguay, maka pada tahun-tahun akan datang negara-negara
berkembangan akan semakin aktif berperan serta dalam setiap kegiatan-kegiatan
perdagangan dunia, baik bilateral maupun multilateral. Hal ini diwarnai oleh
semakin banyaknya kepentingan negara berkembang dalam kegiatan perdagangan dan
perekonomian dunia.
3.
Penerapan Tarif
Pasca AFTA (Asean Free Trade Area) 2003
Dalam proses mewujudkan AFTA
sebagai salah satu blok perdagangan bebas, Negara-negara anggota ASEAN telah
melaksanakan berbagai perjanjian, tidak saja menyangkut perjanjian barang
melainkan diperluas dengan memasukkan perdagangan jasa, bahkan masalah-masalah
lain yang terkait dengan perdagangan, seperti investasi dan hak kekayaan
intelektual.
Salah satu perjanjian yang
sangat penting yang telah disepakati oleh Negara-negara anggota ASEAN adalah The Agreement
Common Effective Preferential Tariff (CEPT)
yang ditandatangani tanggal 28 Januari 1992. Perjanjian ini dianggap terpenting
dari perjanjian lainnya karena CEPT merupakan mekanis awal terwujudnya AFTA dan
mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002, berbeda dengan perjanjian lain yang
berlaku masih belum efektif.
Perjanjian CEPT ini berisi
kesepakatan Negara-negara anggota ASEAN untuk menghapus dan mengurangi hambatan
berupa tarif dan non tarif atas barang yang telah disepakati yang berasal dari
Negara-negara anggota ASEAN. Tujuan utama adalah agar terjadi perdagangan antar ASEAN yang lebih intens.
Dengan berlakunya CEPT negera anggota ASEAN diharapkan tidak akan mengenakan
tarif sebesar 0% atau paling tinggi mengenakan tarif sebesar 5%
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 CEPT. Selanjutnya kepada Negara-negara anggota
ASEAN diwajibkan untuk menghapuskan segala pembatasan kuantitatif dan
meng-hapuskan secara gradual hambatan non tarif sebagaimana diatur dalam Pasal
5 CEPT.[10]
Dengan diberlakukannya perjanjian CEPT maka program penuranan tarif sejak
tahun 1993 sudah berlaku pada tahun 2003 menjadi 0 - 5%. Rencana penurunan tarif tersebut telah dipertegas
lagi dalam sidang Menteri Ekonomi ASEAN di Chiangmai Thailand tahun 1995 yang menyatakan
bahwa” produk-produk industri yang belum bersaing di pasar ASEAN akan bertahap
masuk ke dalam cakupan CEPT-AFTA. Produk-produk industri tersebut paling lambat
masuk dalam cakupan CEPT tahun 2000 dengan maksimum tarif 20%, sedangkan produk
pertanian yang belum diolah (Unprocessed
Agriculture Products) paling lambat masuk pada tahun 2003 dengan tarif 5%.
4.
Penerapan Tarif Impor menurut Tata Hukum Indonesia
Untuk
merealisasi pengaturan tentang tarif impor, Pemerintah kemudian mengeluarkan UU.
No. 10 Tahun 1995 tentang “Kepabeanan” yang kemudian diubah dengan UU No. 17
Tahun 2006, sebagai dasar hukum tentang tarif, yaitu dari Pasal 12 hingga Pasal
17A.
Dalam Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa “Barang impor dipungut Bea Masuk
berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen (40 %) dari nilai
pabean untuk perhitungan Bea Masuk”. Nilai pabean untuk penghitung Bea Masuk adalah
nilai transaksi dari barang yang bersangkutan (Pasal 15). Penetapan Tarif dan
Nilai Pabean dilakukan oleh Pejabat Bea Cukai, hal ini dalam (Pasal 16)
Penerapan ketentuan
bea masuk sebesar 40 % mengacu kepada UU. No.7 Tahun 1994 tentang Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan dari Undang-undang ini yang menyatakan, “Dengan memperhatikan
Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing the World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum dalam ayat
ini adalah ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh persen termasuk Bea Masuk
Imbalan (BMI) dan yang pada waktu diundangkannya undang-undang ini masih terhadap barang-barang tertentu. Namun dengan tetap memperhatikan kemampuan daya saing industri dalam
negeri, kebijaksanaan umum di bidang tarif harus senantiasa ditujukan untuk
menurunkan tarif yang ada dengan tujuan:
a. meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional
b.
melindungi konsumen dalam negeri
c. mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung
terciptanya perdagangan bebas”.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (2) ditetapkan beberapa barang impor yang
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1). Pengecualian ini
dilakukan berdasarkan notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif
dan Perdagangan (GATT). Barang-barang impor yang dikecualikan yaitu:
a.
Barang impor hasil pertanian tertentu sebagaimana tercantum
dalam skedul XXI Indonesia. Produk tersebut tarif Bea Masuknya ditetapkan pada
tingkat yang lebih tinggi dari ketentuan 40 %, dengan tujuan untuk menghapus
penggunaan hambatan non tarif sehingga menjadi tarifikasi.
b.
Barang impor termasuk dalam daftar eksklusif skedul XXI
Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan. Barang tersebut
dikecualikan demi kepentingan
c.
Barang impor sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) UU ini.
Selain ketentuan mengenai Tarif Bea
Masuk sebesar maksimal 40% (empat puluh persen) dari nilai pabean sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 ayat (1), ada beberapa barang yang tarif bea masuknya
berbeda (dikecualikan) dari ketentuan Pasal
12 ayat (1). Barang-barang tersebut diatur dalam Pasal 13, yaitu:
a.
Barang impor yang
dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
internasional, seperti antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
negara-negara lain, misalnya Bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff for Asean free Trade Area (CEPT for ASEAN)
b.
Barang impor bawaan
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui
pos atau jasa titipan. Perbedaan tarif terhadap barang-barang tersebut dari
ketentuan pasal 12 ayat (1), dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat
penyelesaian barang-barang impor tersebut, misalnya dengan pengenaan tarif
rata-rata. Ketentuan ini perlu mengingat barang tersebut umumnya terdiri dari
beberapa jenis saja.
c.
Barang impor yang
berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara
diskriminatif atau secara tidak wajar oleh suatu negara, misalnya pembatasan,
larangan, atau pengenaan tambahan Bea masuk. Barang impor yang demikian dapat
dikenakan tarif yang berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1).
Prinsip yang dianut dalam pembayaran bea masuk sebagaimana di atur dalam
Pasal 16 adalah ”asas perhitungan sendiri (self
assessment)”. Namun demikian,
Pejabat Bea dan Cukai tetap diberi wewenang untuk meneliti dan menetapkan tarif
dan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk yang tersebut dalam pemberitahuan
pabean yang diserahkan importir. Penetapan tarif dapat diberikan sebelum
atau sesudah pemberitahuan pabean atas impor diserahkan, sedangkan penetapan
nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk hanya dapat diberikan setelah
Pemberitahuan Pabean diserahkan.
Pada dasarnya
penetapan Pejabat Bea dan Cukai dalam Pasal 17 (1) bersifat mengikat dapat
dilakasanakan. Akan tetapi jika hasil pemeriksaaan ulang atas pemberitahuan
pabean atau kelebihan pembayaran Bea Masuk, untuk pengamanan penerimaan negara
atau menjamin hak pengguna jasa, maka Direktur Jendral dapat membuat penetapan
baru.
Untuk menghadapi liberalisasi perdagangan, selain
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan mutu produk, yang tidak kalah
penting adalah pengembangan institusi terutama di sektor perindustrian dan
perdagangan, serta penyempurnaan instrumen hukum di bidang hukum
ekonomi/bisnis. Pengembanan di bidang hukum bisnis mutlak diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum dalam bidang ekonomi dan
perdagangan yang berkembang dewasa ini. Instrumen hukum baru yang berupa
peraturan di bidang bisnis sangat diperlukan karena masih banyak persoalan
hukum yang menyangkut masalah-masalah ekonomi/bisnis yang belum diatur dalam
kitab undang undang hukum perdata maupun kitab undang hukum dagang yang berlaku
di Indonesia, termasuk mengenai perdagangan internasional.
III. PENUTUP
Bertititolak dari uraian dia atas maka dapat disimpukan
sebagai berikut:
1. Secara garis besarnya prinsip-prinsip hukum dalam perdagangan internasional
menghendaki perlakuan yang sama atas setiap produk baik terhadap produk impor
maupun produk domestik. Tujuan penerapan prinsip tersebut adalah agar
terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.
Adapaun prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a. Prinsip Non Diskriminasi yang terdiri atas,
Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle
adalah prinsip non diskriminasi yang memberikan perlakaukan yang samam terhadap
produk sama yang berasal dari negara-negara sesama Free Trade Area misalnya
AFTA, dan Prinsip National Treatment (NT Principle) adalah prinsip non diskriminasi yang memberikan perlakuan yang
samaam antara produk impor dan produk dalam negeri
b. Prinsip receprositas adalah prinsip memberikan perlakuan timbal balik Prinsip
ini mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota
WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.
c. Prinsip penghapusan hambatan
kuantitatif adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea
masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini, adalah kuota dan pembatasan
ekspor secara sukarela (voluntary export
restraints).
a. Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara
pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban
tunduk pada prinsip ini (pasal XX dan XXI GATT 1947).
b. Prinsip fairness dalam
perdagangan internasional yang melarang subsidi dan Dumping karena subsidi dan dumping dinilai sebagai praktek ekonomi
yang tidak adil atau curang
2. Penerapan tariff dalam perdafangan internasional selain mengacu pada
ketentuan GATT-WTO berdasarkan kesepakatan dalam perundingan Uruguay Round 1994
yaitu mengacu pada tarif maksimum 305% hingga 40% dari nilai barang yang masuk
di kepabeanan, sementara penerapan tarif pasca AFTA yaitu 0% hingga 5% yang
mengacu pada kesepakatan "The Agreement Common Effective Preferential Tariff (CEPT) 1992.. Adapun penerapan
menurut Peraturan perundang-undangan Indonesia adalah berdasarkan UU No. 10
Tahun 1995 adalah tariff maksimal 40% dari harga barang yang masuk di pabean,
kecuali terhadap negara anggota AFTA mengacu pada netentuan CEPT 1992
Dengan masuknya Indonesia sebagai
anggota perdagangan dunia diharapkan dapat memberikan perubahan kearah pengembangan
ekonomi Indonesia, terutama mendorong kemajuan industri kecil dan menengah
sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Oleh karenan itu peranan
GATT-WTO bagi Indonesia bukan hanya sekedar mendorong perdagangan bebas,
melainkan perdagangan yang adil yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan
negara berkembang temasuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari
WTO), (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti), 2004
Kartadjoemena, HS. GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga
Internasional Di Bidang Perdagangan, cet. Pertama (Jakarta: UI
Press, 1996
Prayitno, Hadi dan
Budi Santosa, Ekonomi Pembangunan, Cet. Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1996
Sood, Muhammad. Pengantar Hukum
Perdagangan Internasional. (Mataram: Mataram University Press) 1995
Sumantoro, Sumantoro,
Naskah
Akademis Peraturan Perundan-undangan RUU Tentang Perdagangan Inernasional,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1997/1998
Sunandar, Taryana. Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional
Dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, (Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman, 1996
[1] Sumantoro, Sumantoro, Naskah Akademis Peraturan Perundan-undangan
RUU Tentang Perdagangan Inernasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, 1998, hal. 4-5.
[2] Muhammad Sood, Pengantar Hukum
Perdagangan Internasional, (Mataram: Mataram University Press) 1995, hal. 18
[3]Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional
(Aspek Hukum dari WTO), (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti), 2004
[4]Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional
Dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, (Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman, 1996),
hal. 11
[5]Ibid.
[6]Ibid
[7] HS. Kartadjoemena, GATT
dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan,
cet. Pertama (Jakarta: UI
Press, 1996), hal 212
[9]. Ibid, hal 63-64.
[10] Ibid, hal, 7