PERANAN PEMERINTAH INDONESIA MENGAHADAPI
GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Oleh:
Muhammad Sood
ABSTRACT
Despite the controversy about the liberalization
of trade, however the government of Indonesia has ratified the WTO
provisions by the discharge of the Act Number 7 Year 1994 concerning the
Agreement on establishment of the World Trade Organization. This is a fact of
law that formed base on the political will of the Indonesian government to
encourage the free trade system as an impact of the circulation of the vital
flow of goods, services, capital and labor among countries in both the regional
and global level. This change mainly supported by the development of science
and technology is growing rapidly and broadly, therefore nations must work together
in both the global and regional level. The benefits have been felt by Indonesia in
the presence of trade between nations is successful in developing its exports,
especially non-oil exports.
Therefore, in international trade requires a
system of international trade organization to promote the establishment of a
free market, fair and open to all countries. In the world trading system, the
Government of Indonesia has been struggling along with other countries actively
participated success of multilateral trade negotiations within the framework of
the GATT Uruguay Round in 1994, the main objective is not only focused on free
trade but also fair trade. For the agenda, the Indonesian government has taken
some steps of deregulation and de-bureaucratization to improve efficiency of
the national economy. The program will continue to be struggled as a strategic
step and is the increase of non-oil exports in order to achieve the goals of
economic development in Indonesia.
Keywords: Government role, trade
globalization, international trade
ABSTRAK
Meskipun adanya kontraversi
tentang liberalisasi perdagangan, namun pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi
terhadap ketentuan WTO dengan keluarnya UU. No. 7 Tahun 1994 tentang
Persetujuan berdirinya WTO. Hal ini merupakan suatu fakta hukum yang terbentuk
atas dasar kemauan politik pemerintah untuk mendorong sistem perdagangan bebas
sebagai akibat dari semakin lancarnya arus peredaran barang, jasa modal maupun
tenaga kerja antar negara baik dalam tataran regional maupun global. Perubahan
ini terutama didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sejalan dengan perubahan dalam sikap dan pikiran manusia yang semakin maju. Sebagai
akibat dari proses perubahan tersebut, bangsa-bangsa harus bekerja sama baik
dalam tataran global maupun regional. Manfaatnya telah dirasakan oleh Indonesia
dengan adanya perdagangan antar bangsa adalah keberhasilan dalam mengembangkan
ekspornya, terutama ekspor non-migas.
Oleh sebab itu dalam
perdagangan internasional diperlukan suatu sistem penyelenggaraan perdagangan
antar bangsa yang dapat mendorong terwujudnya pasar yang bebas, adil dan
terbuka bagi semua negara. Dalam sistem perdagangan dunia, Pemerintah Indonesia telah berjuang bersama-sama dengan
negara lain ikut serta secara aktif mensukseskan perundingan perdagangan
multilateral dalam kerangka GATT Putaran Uruguay tahun 1994, yang sasaran
utamanya tidak hanya difokuskan pada perdagangan bebas melainkan perdagangan
yang adil. Untuk itu Pemerintah telah mengambil serangkaian
langkah deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan efisiensi dalam
perekonomian nasional. Program tersebut akan terus diperjuangkan sebagai suatu
langkah yang strategis dalam
meningkatkan produk ekspor non migas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
ekonomi Indonesia.
Kata Kunci: peranan pemerintah, globalisasi perdagangan,
perdagangan inernasional
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan
internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan
bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian
dunia usaha terhadap kegiatan bisnis internasional juga semakin meningkat, hal
ini terlihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal dan
tenaga kerja antarnegara. Kegiatan bisnis dapat terjadi melalui hubungan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan
waralaba (license and franchise), hak
atas kekayaan intelektual dan sebagainya.
Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan antar
bangsa telah lama dilakukan oleh Suku Bugis, hal ini dinyatakan oleh
PH.O.L.Tobing dalam Huala Adolf bahwa bangsa Indonesia telah mengenal
perdagangan Internasional sejak abat ke 17. Salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku
Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan
sukunya. Keunggulan suku Bugis dalam berlayar yang hanya menggunakan
perahu-perahu Bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya
(sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).[1]
Selanjutnya Indonesia mulai mengenal dunia
Barat melalui perdagangan, sejak kedatangan Portugis dan kemudian zaman
penjajahan Belanda. Motivasi kedatangan bangsa Barat di negara-negara Asia
termasuk Indonesia
pada mulanya untuk berdagang, seperti mencari rempah-rempah untuk di
perdagangkan di Eropa. Namun kemudian, dengan motivasi komersial yang semula
menjadi tujuan utama keberadaan bangsa Eropa menjadi tergeser oleh kepentingan
yang lebih luas, yakni kepentingan penguasaan politik melalui kekuatan militer
untuk menguasai ekonomi yang lebih luas. Mereka berusaha untuk menguasai
negara-negara di Asia dengan menerapkan paham merkantilisme
(mercantilism).[2] Kenyataan tersebut telah
mempengaruhi sejarah bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia, terutama pada awal
priode kolonial hingga periode kemerdekaan.
Untuk
mengantisipasi kemajuan di sektor perdagangan, baik di tingkat nasional maupun
internasional (global dan regional), Indonesia
memerlukan instrumen hukum baru yang dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan hukum dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang
berkembang dewasa ini. Hal ini diperlukan karena semakin banyaknya persoalan
hukum yang menyangkut masalah-masalah ekonomi/ bisnis yang belum diatur dalam
kitab undang undang hukum perdata (KUH Perdata) maupun kitab undang hukum
dagang (KUHD) yang berlaku di Indonsia.
Kaidah-kaidah
hukum baru yang merupakan hukum ekonomi untuk sebahagian besarnya tidak lagi
berpegang pada asas-asas hukum perdata maupun hukum publik yang konvensional.
Akan tetapi dengan timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru timbul pula kaidah-kaidah
baru dan pranata-paranata baru yang sulit sekali dikategorikan ke dalam sistem
hukum perdata maupun sistem hukum publik konvensional.[3]
Oleh
karena itu dalam pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan di bidang
ekonomi, hukum bukan saja dipandang sebagai salah satu obyek atau sarana
pembangunan, akan tetapi juga berfungsi sebagai suatu penunjang bagi kelangsungan
pembangunan, baik dalam memberikan dasar kepastian, alat pengamanan maupun
sebagai alat untuk mempercepat proses pembangunan. Jelasnya bahwa hukum
merupakan alat untuk menentukan berhasil tidaknya pembangunan itu sendiri,
terutama dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Dengan
diselenggarakannya pertemuan Double WTO,
tidak terlepas dari rangkaian kebijaksanaan di sektor perdagangan. Berbagai persetujuan hasil Putaran Uruguay yang
disepakati di Marrakesh (Maroco) yang berakhir
tahun 1994, merupakan kesepakatan untuk memperbaiki situasi hubungan
perdagangan internasional melalui upaya mempertahankan akses pasar barang dan jasa,
menyempurnakan berbagai peraturan perdagangan, memperluas cakupan dari
ketentuan dan disiplin GATT, dan memperbaiki kelembagaan atau institusi
perdagangan multilateral antara berbagai bangsa.
Masuknya Indonesia sebagai anggota
perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement on
Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal
maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus memetuhi seluruh hasil
kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi
peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan ketentuan hasil kesepakatan
WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi hukum,
Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar
rambu-rambu ketentuan WTO. Dengan demikian Indonesia telah terikat untuk
mematuhi segala kaidah-kaidah yang disepakati dalam persetujuan perdagangan
internasional, termasuk melakukan perubahan baik terhadap instrumen hukum
maupun kebijaksanaan pembangunan di bidang perdagangan
B. Perumusan Masalah
Bertitiktolak
dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai
berikut.
- Bagaimanan peranan pemerintah Indonesia dalam Perdagangan Internasional.
2.
Komitmen
dan Langkah-langkah apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam
mendukung Liberalisasi Perdagangan Internasional.
C. Kerangka Teori
Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar
negara, atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham
atau teori yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul
“The
Wealth of Nations”, yang
disebut dengan ”Teori Pasar Bebas”, yang
menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin
meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan
intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.[4]
Menurut teori ini, suatu negara yang mempunyai
keunggulan absolut relatif terhadap negara mitra dagangnya dalam memproduksi
barang atau komoditi tentu, akan mengekspor komoditi tersebut ke negara mitra
yang tidak memiliki keungulan absolut (absoluth disadventage). Demikian pula
sebaliknya, sehingga dalam sistem perdagangan bebas, di antara negara-negara
mitra dagang tersebut akan memiliki nilai ekspor yang sama dengan nilai
impornya. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya yang akan digunakan
secara lebih efisien, sehingga kesejahteraan yang akan dicapai akan lebih
optimal. Namun dalam kenyataannya justru yang terjadi di Eropa adalah ketidak
adilan dan kesenjangan sosial antara para pengusaha yang kaya raya dengan kaum
buru atau petani yang miskin.[5]
D. Metode Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan
konseptual (Conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam hukum perdagangan internasional. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam mambangun suatu
argumentasi hukum guna memecahkan isu yang dihadapi. Sumber data adalah data kepustakaan yang
dianalisis dengan menggunakan teknik dokumentasi yaitu mengkaji berbagai
referensi baik peraturan perundang-undangan maupun buku-buku literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan yang diangkat.
II. PEMBAHASAN
A. Peranan Indonesia dalam Menghadapi
Perdagangan Bebas
1.
Pro dan Kontra Terhadap Perdagangan Bebas
Dengan terbentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area)
merupakan tantangan besar bagi Indonesia terutama dalam memposisikan para produsen
atau pelaku usaha lokal atau domestik agar sejajar dengan para para pelaku
usaha dari lainnya dalam menghadapi pasar bebas, baik di kawasan regional ASEAN maupun di
luar ASEAN. Kemudian semenjak 1 Januari tahun 2010 terbentuk pula kawasan
perdagangan bebas China-ASEAN (China-ASEAN
Free trade Area/CAFTA). Adanya kawasan pasar bebas tersebut diharapkan
dapat meningkat pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama peningkatan ekspor non
migas.
Sebaliknya pandangan yang pesimis
terhadap Persetujuan Putaran Uruguay di Marrakech (Morocco) tahun 1994, timbul
karena adanya perbedaan kekuatan ekonomi antara negara di dunia. Negara-negara
maju mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan negara
berkembang di Selatan. Negara-negara maju melalui kegiatan yang bersifat
multinasional telah menguasai teknologi, dana dan jaringan industri serta
perdagangan dunia, sedangkan Negara berkembang relatif masih tergolong miskin.
Kesepakatan Uruguay dihawatirkan akan dapat merugikan negara berkembang terutama
dalam masalah produksi dan perdagangan komoditi pertanian, industri dan jasa.
Hal ini dapat terjadi karena produk-produk tersebut di negara berkembang masih
merupakan masalah besar dan belum efisiensi, baik karena rendahnya kemampuan
teknologi maupun karena kualitas sumber daya manusia masih rendah. Di sisi lain
perdagangan bebas akan menyebabkan penyerbuan produk-produk negara maju yang
dipasarkan di negara berkembang karena kualitasnya dan teknologinya baik,
harganya lebih murah. Lebih-lebih pemasaran tersebut dilakukan di Indonesia
sebagai salah satu negara yang sangat padat penduduknya dengan perilaku yang
sangat konsumtif, hal ini sangat penting sebagai kawasan pemasaran yang
potensial bagi produk-produk negara maju.
Tidak dapat dihindari bahwa kontraversi
tentang perdagangan bebas masih ada di kalangan para ahli, baik yang berasal
dari negara lain maupun dari dalam negeri sendiri, antara lain Sri Edi Swasono dalam Nursalam Sianipar misalnya menilai bahwa"[6].
a. Pasar bebas akan menggagalkan cita-cita
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Pasar bebas dapat mengganjal cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
c. Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum Inlander
(kaum terjajah) yang jauh di bawah martabat kaum Eropah dan Timur Asing.
d. Pasar bebas menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya
beli akan menjadi penonton belaka, berada di luar pagarpagar transaksi
ekonomi.
e. Pasar bebas melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi
yang penting banegara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan
partikelir dan asing.
f. Pasar bebas mencari keuntungan ekonomi. Pasar bebas menggeser, dan
menggusur rakyat dan tanah dan usaha-usaha ekonominya,
g. Pasar bebas memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong
ter-bentuknya polarisasi sosial ekonomi, memperenggang persatuan nasional.
h. Pasar bebas melihat sistem ekonomi subordinasi yang ekploitatif dan
diskriminatif terhadap yang lemah.
i.
Kemudian pasar bebas
mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorng lidah kita
bicara palsu, membabi buta anti subsidi, anti proteksi demi efisiensi yang jarang memberi manfaat bagi si lemah.
Pendapat tersebut tampaknya termasuk ke dalam paham yang
tidak menyetujui negara-negara berkembang terlalu terlibat dalam perdagangan
bebas karena hanya akan lebih menyengsarakannya. Pendapatnya juga sangat
nasionalistik tanpa menghiraukan hasil-hasil konkret yang telah dicapai
negara-negara di dunia yang telah mengikuti perdagangan bebas.
Kritikan terhadap
kesepakatan Uruguay juga dikemukakan oleh Martin Khor
Kok Peng yang menyatakan, “bahwa melalui Putaran Uruguay itu,
negara-negara industri berusaha untuk memperluas dan memperketat kontrol mereka
terhadap ekonomi dunia pada umumnya, maupun terhadap ekonomi nasional
negara-negara Dunia Ketiga. Dalam banyak bidang negosiasi negara-negara
industri berusaha untuk meremehkan atau menggeser sama sekali seluruh prinsip
pembangunan yang sampai saat ini telah diterima di lingkungan GATT”.[7]
Selanjutnya Arief Budiman dalam Martin Khor Kok Peng mengemukakan
bahwa, perundingan internasional yang dikenal dengan nama Putaran Uruguay,
merupakan salah satu bentuk dari usaha memaksa prinsip pasar bebas ke
negara-negara Dunia Ketiga. Yang dirundingkan
adalah supaya semua bentuk proteksi dihilangkan, baik terhadap barang industri
maupun terhadap jasa. Juga hak paten yang banyak dikuasai oleh negara-negara
industri maju harus dihormati oleh negara-negara Dunia Ketiga. Ini berarti bahwa
pasar di semua negara di dunia ini harus siap untuk
diinternasionalisasikan".[8]
Perundingan GATT dalam Putaran Uruguay, merupakan
agenda negara-negara industri yang secara radikal melakukan restukturisasi
terhadap GATT, sehingga mereka dapat memperluas kekuasaan mereka terhadap dunia
ketiga dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, mereka akan mampu memaksakan
berbagai peraturan baru untuk memaksimalkan kegiatan perusahaan mereka
berdasarkan prinsip perdagangan bebas (tanpa ada campur tangan negara) di negara-negara
Dunia Ketiga.
Penerapan liberalisasi ekonomi yang tercermin
melalui perdagangan internasional, bagi negara-negara berkembang ternyata
banyak mengundang masalah, terutama menyangkut kesiapan pelaku ekonomi dalam
berkompetisi. Demikian pula dengan kesiapan perangkat hukum sebagai penunjang
atas berlakunya liberalisasi perdagangan belum menampakkan supremasinya. Hal
ini merupakan persoalan yang paling krusial bagi negara berkembang terutama
mengenai eksistensi liberalisasi ekonomi yang dipercaya mampu menciptakan
kemakmuran yang optimal bagi masyarakat.
Selogan pasar bebas, perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, bertujuan untuk
memaksimalkan kebebasan dan sumber-sumber yang harus diberikan kepada berbagai
perusahaan transnasional untuk beroperasi. Pada saat yang sama negara industri
maju menuntut minimalisasi campur tangan pemerintah untuk berpartisipasi dalam
kegiatan ekonomi. Upaya berbagai perusahaan untuk merebut pasar bebas,
deregulasi, dan privatisasi itu dimulai pada tingkat nasional dan seterusnya
diperluas ke tingkat internasional dengan menggunakan konsep pasar bebas.
Oleh karena itu apabila usulan negara-negara
industri diterima oleh negara-negara Dunia Ketiga yang umumnya sebagai negara
berkembang, maka mereka akan kehilangan sebahagian besar dari hak mereka untuk
mengatur ekonomi, lingkungan, kesehatan dan bahkan kebudayaan mereka. Hak ini
akan beralih kepada perusahaan-perusahan yang diberi berbagai kebebasan dari
campur tangan dan intervensi negara di Negara Dunia Ketiga.
Menurut Martin Khor Kok
Peng, “dalam Perundingan Putaran Uruguay seharusnya yang diperjuangkan oleh
negara-negara Dunia Ketiga adalah perda-gangan yang adil, bukan perdagangan
bebas. Apa yang sangat dibutuhkan adalah tatanan ekonomi internasional yang
mengakui serta melayani berbagai kebutuhan pembangunannya, yaitu kebutuhan
untuk memproduksi berbagai produk yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan
kebutuhan manusiawi warga masyarakat, kebutuhan akan pembagian sumber daya yang
semakin adil dan merata, serta kebutuhan akan bentuk-bentuk pembangunan yang
berkelanjutan secara ekologis".[9]
Sehubungan dengan pendapat di atas, agar tata
ekonomi dunia seperti itu dapat terwujud, seharusnya negara-negara Utara
(negara-negara industri) mengakui bahwa mereka memiliki hutang historis yang
besar terhadap Selatan (Dunia Ketiga) karena selama berabad-abad mereka
melakukan eksploitasi baik terhadap sumber daya manusia, finansial, maupun
sumberdaya alam negara-negara Selatan. Sebagai akibat dari eksploitasi tersebut, negara-negara Selatan secara
ekonomis tidak mampu bersaing di bawah persyaratan yang sama dengan
negara-negara industri maju. Itulah sebabnya negara-negara Dunia Ketiga
menganggap prinsip pembangunan sebagai suatu konsep yang sangat penting untuk
diikuti dalam Putaran Uruguay. Mereka perlu diberi kesempatan untuk
mengutamakan kebutuhan pembangunan mereka sebagai prioritas dalam melakukan
negosiasi mengenai syarat persetujuan dalam berbagai bidang di dalam Putaran
Uruguay.
Menurut BM. Koentjoro Jakti, sebagai salah satu negara yang
telah menandatangani kesepakatan liberalisasi perdagangan intenasional (WTO)
pada putaran Uruguay di Marakech (Marocco) tahun 1994, Indonesia harus menerima
risiko menghadapi persaingan yang semakin ketat, demikian pula dengan berlakunya
AFTA semenjak tahun 2003. Kesepakatan tersebut harus diterima oleh Indonesia
jika tidak ingin terisolasi dari Negara ASEAN lainnya, lebih-lebih di kawasan
ASEAN Indonesia adalah satu-satunya negara yang yang dulunya merupakan jajahan
Belanda yang menganut sistem hukum Kontinental (Civil Law). Sementara sebahagian besar
negara-anggota ASEAN lainnya merupakan bekas jajahan Inggris yang menganut
sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Sebagai negara bekas jajahan Inggris, negara-negara
tersebut tidak akan banyak memberikan harapan untuk mendukung Indonesia dalam
bernegosiasi atau diplomasi guna memperjuangkan hak dan kepentingannya dalam
sidang WTO. Negara-negara tersebut secara emosional bahkan lebih cenderung
untuk mendukung negara bekas penjajahnya, misalnya melalui Organisasi Negara Persemakmuran (Commonwealth).
Hal ini merupakan problem bagi Indonesia untuk tidak dapat menolak WTO
meskipun kemungkinan lebih banyak merugikan Indonesia sebagai negara
berkembang. Selain itu kapabilitas wakil Indonesia di sidang WTO dalam
bernegosiasi masih lemah, mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang masih sangat
bergantung pada bantuan luar negeri terutama bantuan dari negara-negara maju
yang menganut sistem hukum Common Law.[10]
Dalam menghadapi persaingan yang cenderung akan
semakin ketat, Indonesia memerlukan kesiapan, terutama upaya peningkatan sumber
daya manusia, efesiensi, teknologi, dan kualitas produk, serta perbaikan sistem
dan pranata hukum yang mampu mendukung kegiatan bisnis yang semakin modern dan
global.
Menurut Sunaryati
Hartono, "segala perubahan dengan berbagai implikasi baik dalam
lingkup nasional, regional maupun global perlu terus dipantau dengan sikap
terbuka, agar kita mencari jalan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan tersebut, tanpa merugikan kepentingan nasional. Dalam
rangka mengantisipasi perkembangan hubungan ekonomi dan perdagangan di masa
depan khususnya untuk menunjang pelaksanaan AFTA, GATT,
dan Deklarasi Bogor, maka hukum ekonomi
nasionalpun perlu di up-datekan, baik hukum nasional yang berbentuk
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, keputusan arbitrase, maupun hukum
kebiasaan dagang, termasuk lembaga, mekanisme pranata maupun sarana hukum,
fisik maupun non fisik".[11]
Kondisi interdependensi dan kebutuhan perdagangan
antar bangsa memerlukan pengaturan sesuai dengan norma-norma hukum ekonomi
internasional, agar kelancaran perdagangan lebih terjamin guna memajukan
kondisi ekonomi suatu negara. Banyaknya hambatan perdagangan yang selama ini
telah menyebabkan kelesuan ekonomi, sehingga disadari perlunya kesepakatan
untuk memperlancar arus barang, jasa maupun modal antar negara. Dengan
dikuranginya atau dihapusnya hambatan perdagangan antar negara, maka
masing-masing negara akan saling berkompetisi untuk merebut pasar negara lain,
sekaligus juga mempertahankan pasar dalam negeri.
Adanya perdagangan internasional diharapkan dapat
meningkat pertumbuhan ekonomi dunia terutama bagi negara-negara berkembang
berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang tuangkan dalam GATT/WTO. Namun demikian, prinsip-prinsip tersebut
masih dirasakan tidak adil oleh negara-negara berkembang, maupun lembaga
swadaya masyarakat dan organisasi buruh di negara maju. Kebijaksanaan tersebut
bahkan kurang memperhatikan masalah lingkungan dan nasib tenaga kerja, akan
tetapi lebih memberikan peluang bagi negara maju untuk menguasai pasar dalam
negeri negara-negara berkembang. Sementara negara-negara maju tetap ingin
mempertahankan pasar dalam negerinya terhadap masuknya barang maupun jasa dari
negara berkembang.
Meskipun perdagangan bebas tidak selamanya memberikan dampak positif
terhadap kemajuan ekonomi negara berkembangan, namun Indonesia tidak dapat
menutup diri dari arus globalisasi dengan cara melakukan kebijakan proteksionisme. Kepentingan bangsa dan negara kita ini
tidak mungkin dapat dicapai dengan cara menutup diri dari dunia luar.
Globalisasi harus diterima sebagai realitas masyarakat internasional
kontemporer tidak dapat dihindari. Oleh karena itu Indonesia harus ikut bermain
di dalam perdagangan bebas untuk bersaing dengan negara-negara lain, sehingga
dapat mengenal kelemahan dan kekuatan sendiri serta mampu memanfaatkannya.
Demikian pula
dengan para pembuat kebijakan hendaknya tidak lagi melihat dunia secara
konfrontatif, memandang negara-negara maju sebagai penjajah dan negara
berkembang sebagai terjajah, karena cara berpikir demikian tidak bermanfaat.
Kecenderungan negara-negara di dunia menerima perdagangan bebas, hampir semua
negara adalah anggota WTO atau tengah menunggu menjadi anggota. Negara-negara
berkembang telah menjadi anggota dari organisasi perdagangan internasional,
baik global maupun regional karena banyak manfaat yang dapat diperolehnya.
Untuk menjamin hak-hak dan kewajibannya yang sudah disepakati bersama, maka diperlukan instrumen hukum yang dapat
menyelesaikan permasa-lahan hukum bagi terwujudnya sistem perdagangan yang bebas,
tertib dan adil.
2.
Peran Indonesia Dalam Perdagangan Internasional
Terlepas dari masih adanya
kontraversi tentang perdagangan bebas, dari sudut hukum bahwa ratifikasi yang
dilakukan pemerintah Indonesia terhadap WTO merupakan suatu fakta hukum yang
terbentuk atas dasar kemauan politik pemerintah untuk mendorong sistem
perdagangan bebas yang tidak dapat dihindari. Perubahan ini terutama
disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat
dan luas sejalan dengan perubahan dalam sikap dan pikiran manusia yang semakin
maju. Sebagai
akibat dari proses perubahan tersebut, bangsa-bangsa harus bekerja sama baik
dalam tataran global maupun regional.
Manfaat yang dirasakan oleh Indonesia dengan adanya perdagangan antar bangsa adalah
keberhasilan dalam mengembangkan ekspornya, terutama ekspor non-migas. Menurut Nursalam Sianipar, sampai dewasa ini Indonesia telah menikmati fasilitas sistem
proferensi umum (generalized
system of preference/ GSP) yang berupa
pengurangan dan penghapusan bea masuk atas ribuan produk ekspor oleh beberapa
negara maju seperti AS, MEE, Kanada,
Australia,
Selandia Baru, dan Jepang.[12]
Menghadapi
sikap diskriminatif dari negara-negara maju terhadap impor dari negara-negara
berkembang, Pemerintah Indonesia hendaknya lebih berperan untuk menekankan
adanya pengaturan multilateral sebagaimana dimuat GATT yang didasarkan pada
prinsip-prinsip ekonomi, yang dalam hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan
bangsa dapat ditingkatkan melalui perdagangan bebas serta berlandaskan asas non-diskriminasi. Meskipun
ide tersebut masih jauh dari kenyataannya, namun sistem ini semakin berkembang
yakni melalui berbagai putaran perundingan perdagangan multilateral, tidak
saja mampu untuk meningkatkan keterbukaan dan kebebasan perdagangan dunia,
melainkan juga sistem perdagangan yang adil antar bangsa.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Soedradjat J. Djiwandono dalam Nursalan Sanipar, bahwa “ekonomi Indonesia
telah makin beragam dan berdaya saing dalam keadaan seperti ini, kepentingan
utama ekonomi nasional adalah tersedianya pasar yang bebas dan terbuka serta
meluas. Oleh sebab itu dalam perdagangan internasional diperlukan suatu sistem
penyelenggaraan perdagangan antar bangsa yang dapat mendorong terwujudnya pasar
yang bebas, adil dan terbuka bagi semua pelakunya. Dalam sistem perdagangan
dunia. perjuangan nasional harus dilakukan untuk bersama negara lain ikut serta
secara aktif mengusahakan suksesnya perundingan perdagangan multilateral dalam
kerangka GATT Putaran Uruguay
tahun 1994, yang sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kebutuhan dan
kebebasan perdagangan dunia Inilah yang mendasari peningkatan kegiatan Indonesia
dalam perundang-undangan multilateral".[13]
Lebih Lanjut Soedradjat menegaskan
keyakinannya bahwa, "Kegagalan penciptaan aturan main perdagangan antar
bangsa yang lebih terbuka, bebas, dan adil untuk semua negara dan perekonomian
akan berati merajalelanya proteksi dan fragmentasi perdagangan dengan segala
konsekuensinya perdagangan dunia akan menciut, pengangguran akan membengkak dan
kemakmuran akan menurun. Kiranya semua negara di dunia tidak menghendaki hal
itu terjadi. Karena itu, segala upaya harus dilakukan untuk tercapainya
kesepakatan dunia berhasilnya Putaran Uruguay".[14]
Dukungan
Indonesia terhadap sistem
perdagangan yang terbuka telah ditunjukkan oleh kebijakan deregulasi yang telah
berlangsung sejak tahun 1980-an. Semenjak dua puluh tahun terakhir, ekonomi Indonesia
dapat disebut sebagai dasa warsa reformasi. Paket demi paket deregulasi
diumumkan, bisnis-bisnis yang tertutup atau dibatasi bagi pendatang baru
tinggal sedikit sekali.
Manfaat keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan
tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar
interna-sional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan
multilateral yang lebih baik lagi kepentingan nasional dalam perdagangan
internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang.
Dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi dibutuhkan
upaya-upaya untuk antara lain mampu meningkatkan, memperluas, memantapkan dan
mengamankan pasar bagi segala produk, baik barang maupun jasa, termasuk aspek
investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan,
serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan
internasional. Untuk mendukung tujuan
tersebut, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengesahkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement on
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan berdirinya Organisai
Perdagangan Dunia) pada tanggal 2 November 1994.
Dengan diratifikasi persetujuan
berdirinya WTO tersebut,
artinya Indonesia
telah resmi menerima kesepakatan WTO. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah
Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pengaturan perdagangan internasional antara lain, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan
Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Keberadaan peraturan perundang-undangan
ini diharapkan dapat memberi-kan manfaat bagi pembangunan ekonomi, kuhususnya
di dalam sektor-sektor industri, pertanian dan perdagangan. Undang-undang ini
sangat mendukung upaya Indonesia
dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khususnya ekspor non migas, yang
merupakan pendukung utama pembangunan perekonomian nasional. Melalui
keanggotaannya di WTO, Indonesia
berharap dapat berperan dalam mendorong perwujudan tatanan baru di bidang
perdagangan internasional.
Menurut H.S. Kartadjoemena, dengan melihat
masalah dalam konteks yang lebih fundamental lagi, dapat dikemukakan bahwa
kepentingan dasar Indonesia
untuk turut serta secara aktif dalam Perundingan Uruguay Round. Perundingan tersebut tidak terlepas dari kepentingan
Indonesia,
yakni sebagai berikut:[15]
a.
Pembangunan nasional secara
menyeluruh merupakan tujuan utama Pemerintah Indonesia.
b.
Di bidang ekonomi, tujuan
pembangunan hanya dapat tercapai apabila Indonesia dapat mencapai dan
mempertahankan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, dengan tingkat inflasi yang terkendali,
serta tetap mempertahankan aspek pemerataan.
c.
Dalam upaya untuk mencapai laju
pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, sektor luar negeri telah memegang
peranan penting. Hal ini akan tetap berlaku sampai tahun-tahun mendatang,
karena pasar dalam negeri dengan tingkat pendapatan nasional per kapita yang
relatif masih terlalu rendah, tidak dapat menjadi motor pendorong laju
pertumbuhan pendapatan nasional yang cukup tinggi.
d. Berbeda dengan tahun 1970-an, ketika
penghasilan dari sektor migas menjadi andalan dari program pembangunan, dan
sejak tahun 1980-an, Indonesia memusatkan perhatian terutama pada sektor
non-migas.
e. Agar ekspor non-migas dapat terus
berkembang dengan pesat, maka Pemerintah telah mengambil serangkaian langkah deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan
efisiensi dalam perekonomian. Program tersebut akan terus dilakukan, karena
kepentingan nasional menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan suatu
hal yang strategis dan sangat tepat untuk mencapai tujuan pembangunan jangka
panjang yang telah ditentukan oleh pihak Indonesia.
Keharusan Indonesia untuk
berperanserta secara aktif dalam sistem perdagangan multilateral dilandasi oleh
banyak alasan antara lain karena
sebagai suatu sistem ekonomi Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari
sistem-sistem ekonomi negara lain yang kesemuanya membentuk sistem ekonomi
internasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan sub sistem dari
sistem yang lebih besar yaitu sistem ekonomi internasional. Guna meningkatkan
sistem perekonomiannya Indonesia sangat bergantung pada sistem perekonomian
negara lain dan sistem ekonomi internasional oleh karena itu harus terdapat
keselarasan di antara sistem-sistem ekonomi ini. Suatu hal yang harus menjadi
pertimbangan dalam menentukan pilihan kebijakan ekonomi internasional yakni
terdapatnya kepentingan yang berbeda-beda di antara negara-negara pelaku
perdagangan internasional. Sebagai Konsekuensinya adalah timbulnya conflic
of interest sehingga diperlukan mekanisme
penyelesaian konflik yang mampu memberikan hasil maksimal bagi semua pihak dan
sejauh mungkin dihindari adanya pihak yang dirugikan.
Pilihan Indonesia terhadap perdagangan
bebas dapat dicari landasannya dari analisis tentang kekuatan, kelemahan,
kesempatan serta ancaman-ancaman yang dimiliki yang dihadapi oleh Indonesia
sendiri. Kekuatan Indonesia yang terletak dalam kekayaan potensial baik dalam
sumber daya alam maupun manusia. Kekayaan potensial ini diefektifkan lewat
kehendak poitik (politic will) pemerintah. Jika dilihat ke belakang, sejak tahun 1980-an pemerintah terus
melancarkan reformasi kebijakan ekonomi guna memaksimalkan hasil-hasil
pembangunan. Puluhan paket kebijaksanaan telah diberlakukan. Namun sebagai
negara berkembang Indonesia memiliki banyak kelemahan yang harus disadari dan
diwaspadai dalam kancah perdagangan internasional. Di samping itu, seperti
negara berkembang pada umumnya Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di berbagai bidang kegiatan ekonomi dan tertinggal jauh dari negara-negara
maju di bidang teknologi, maka melalui perdagangan internasional sebagaimana
ingin diciptakan dalam sistem GATT dan WTO menawarkan kesempatan bagi semua
negara untuk meningkatkan taraf hidup di bawah disiplin multilateral.
Kelemahan-kelemahan Indonesia jika dilihat secara positif dapat merupakan
peluang untuk terus meningkatkan pangsa pasar komoditi Indonesia dalam
perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO yang sedemikian jauh telah
mendatangkan hasil positif bagi semua anggotanya.
Dalam menyambut hasil-hasil Putaran
Uruguay, delegasi Indonesia telah memberikan pernyataan yang antara lain
berisikan pandangan-pandangan sebagai berikut:[16]
a. Meskipun menyadari beban atas kewajiban-kewajiban baru yang berlaku, namun
dapat diterima paket Putaran Uruguay karena berkeyakinan bahwa masa depan
pertumbuhan ekonomi dunia dan kemakmuran global serta prospek pembangunan di
negara-negara berkembang bergantung pada keterbukaan dan sistem perdagangan
internasional yang adil.
b.
Di antara
kewajiban-kewajiban baru yang dipandang sebagai konsesi utama adalah perjanjian
tentang hak milik intelektual. Guna melaksanakan perjanjian tersebut
sepenuhnya, Indonesia memerlukan bantuan teknik dari mitra negara- negara maju.
Dengan penyesuaian-penyesuaian yang akan dilakukan oleh Indonesia, maka yang
paling dibutuhkan adalah kerja sama teknik dan bukan gangguan hukum (legal harassment).
c.
Di bidang jasa, negara -
negara berkembang, termasuk Indonesia telah menerima kewajiban sebagai bagian
dari paket global, meskipun untuk itu harus berkorban. Konstribusi di bidang
ini untuk sistem perdagangan multilateral haruslah diakui.
d.
Peluang akses pasar yang
lebih besar bagi semua negara mitra dagang merupakan tujuan utama Putaran
Uruguay. Negara-negara berkembang mengharapkan dapat memperoleh akses lebih
besar bagi ekspornya di tahun-tahun mendatang. Indonesia telah mengajukan 94%
dari cakupan produknya untuk impor dengan tarif yang diikat; angka tersebut
merupakan kenaikan substansial di bidang konsesi sebelumnya.
e.
Dalam paket Putaran Uruguay
juga disepakati agar produk tekstil dan pertanian secara bertahap dapat sejalan
dengan disiplin multilateral. Indonesia berharap bahwa perjanjian yang baru
pada gilirannya akan menjadikan praktek-praktek dagang di sektor ini akan
sejalan dengan aturan GATT serta menghilangkan praktik-praktik diskriminasi
terhadap negara-negara berkembang.
f.
Sistem perdagangan dunia
yang terbuka dan dinamis juga membutuhkan kesediaan dari semua pihak untuk
menerima peralihan dalam keuntungan komparatis serta untuk melaksanakan
penyesuaian struktural apabila diperlukan; tidak mengalihkan beban penyesuaian
kepada mitra dagang yang lemah.
g.
Negara-negara berkembang
menyadari keharusan untuk melakukan penyesuaian struktural. Negara-negara
berkembang telah memberikan bagiannya dalam memperkuat sistem multilateral dengan
melaksanakan reformasi domestiknya guna menjadikan perekonomiannya lebih
tanggap terhadap pasar, dan dengan meliberalisasikan rejim perdagangannya
sementara berlangsungnya Putara Uruguay. Negara-negara berkembang telah
melakukan perubahan-perubahan tersebut meskipun menghadapi risiko politik dan
pengorbanan sosial.
h.
Dalam kaitan ini, Indonesia
mencatat dengan prihatin tentang adanya tendensi baru di negara-negara maju,
yaitu dengan menggunakan dalih kepedulian sosial dan lingkungan untuk membatasi
perdagangan. Proteksi tersamar ini tidak hanya akan menghambat keuntungan
komparatif negara-negara berkembang tetapi juga akan menimbulkan risiko
dibukanya kembali keseimbangan yang telah susah payah dicapai antara hak.
kewajiban dan kepentingan dari semua pihak sebagaimana tercakup dalam Final Act.
i.
Menjadikan kewajiban semua
pihak untuk tidak memperlemah WTO yang masih akan dibentuk dengan cara
membebaninya dengan isu-isu kontroversial. Sebaliknya, kita berharap agar
organisasi baru tersebut dapat secara efektif bertindak sebagai
"penjaga" sistem perdagangan multilateral yang didasarkan atas
aturan. dapat diramalkan, dan non- diskriminasi. Demikian pula diharapkan agar
organisasi baru tersebut dapat bertindak sebagai "penjamin" dari
hak-hak para mitra dengan yang lemah terhadap tindakan sewenang-wenang dan
multilateral dari pihak yang kuat.
B. Komitmen dan Langkah-Langkah Pemerintah Indonesia dalam
Mendukung Liberalisasi Perdagangan Internasional
1. Komitmen Pemerintah dalam mendukung
Perdagangan Internasional
Sebagai tindak lanjut dari upaya pengembangan
ekonomi nasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah
Indonesia telah menentukan ”arah
kebijaksanaan di bidang hukum” dalam mendukung kegiatan ekonomi yang
merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional,
diatur dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pemba-ngunan
Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025. Dalam Lampiran Bab IV. 1.2
Huruf A, tentang Reformasi Hukum dan Birokrasi”, khususnya pada angka 1 dinyatakan
bahwa: ”Pembangunan hukum diarahkan untuk
mendukung terwujud-nya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur
permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan
dan perlindungan hukum”.
Sehubungan dengan arah kebijakan yang terkandung dalam
RPJP 2005-2025 tersebut, maka untuk mewujudkan pertumbuhan di bidang ekonomi,
Indonesia perlu menggalang kerja sama internasional, di segala bidang termasuk
kerjasama di bidang hukum dan ekonomi dalam upaya menunjang dan mempercepat
pelaksanaan pembangunan nasional. Salah satu sektor yang sedang dan terus
digalakkan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional adalah sektor perdagangan dan Industri, yang mengarah pada peningkatan
ekspor non migas, peningkatan daya saing, serta perluasan pasar luar
negeri.
Dalam menghadapi perkembangan, perubahan, dan kecenderung
global serta memanfaatkan peluang yang ada, Indonesia terus berusaha ikut serta
dalam upaya meningkatkan kerja sama antara negara untuk mempercepat terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yakni melalui sistem perdagangan internasional yang
terbuka, adil dan tertib, serta bebas dari hambatan dan pembatasan yang selama
ini dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional.
Hubungan kerja sama tersebut selanjutnya diharapkan dapat memberikan pengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan stabilitas
nasional yang merupakan tujuan pembangunan nasional.
Partisipasi aktif negara-negara bekembang dalam Putaran Uruguay termasuk Indonesia,
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya sudah lebih nyata daripada putaran-putaran
perundingan sebelumnya. Beberapa unsur penting dari komitmen Indonesia
terdiri dari:[17]
a. Tarifikasi hambatan-hambatan non-tarif dalam perdagangan hasil-hasil pertanian.
b.
Pengikatan (binding) seluruh tarif dalam sektor pertanian, di aniaranya 1014 posisi pada tingkat
40%, 27 posisi pada tingkat di bawah 40%, dan 300 posisi pada tingkat di atas
40%.
c.
Pengikatan bagian terbesar
tarif atas produk perindustrian, di antaranya 6848 posisi pada tingkat 40%, 688
posisi pada tingkat di bawah 40°..
d.
Penghapusan selama masa
transisi hambatan non tarif dalam 98 posisi tarif dan penghapusan Bea masuk
tambahan (surcharge) dalam 172 posisi tarif.
2.
Langkah-langkah yang harus
diambil Pemerintah
Dalam rangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional,
keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional juga akan
tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta kemantapan sistem
perdagangan internasional di samping kemampuan penyusun ekonomi nasional
terhadap perkembangan yang ada. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
perekonomian dunia adalah tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam perkembangan
perdagangan antar negara. Tatanan yang dimaksud adalah General
Agreement on Tariff and Trade (GATT).
Dalam menghadapi dan mendukung
era gloabalisasi perdagangan internasional, ada beberapa langkah yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu:[18]
a.
Dalam era perdagangan bebas
dan era globalisasi setiap pembuat kebijakan di bidang perdagangan
internasional, demikian juga para pelaksana di lapangan dituntut untuk memiliki
wawasan internasional. Dalam praktik, hal ini berarti penguasaan instrumen-instrumen
hukum internasional yang terkait dengan perumusan kebijakan dan pelaksanaan
kegiatan di lapangan.
b. Dari kecenderungan-kecenderungan yang tengah berlangsung di arena
internasional, haruslah disadari bahwa kepentingan nasional perlu diperjuangkan
dengan lebih baik dan aman dalam konteks saling ketergantungan yang
menguntungkan semua bangsa, bukan dengan cara saling melemparkan masalah kepada
bangsa lain.
c. Dalam era globalisasi, konsep kedaulatan harus dipergunakan dengan kearifan
yang tinggi mengingat konsep ini telah mengalami perubahan yang substansial
argumentasi negara berdaulat tidak dapat digunakan hanya sebagai alat untuk
menolak kewajiban internasional yang timbul dari suatu kesepakatan multilateral,
sebab jika dianut secara ekstrim argumentasi tersebut akan mencetuskan konflik
bahkan anarki di arena internasional.
d. Keanggotaan Indonesia dalam WTO merupakan suatu kenyataan hukum yang
membawa konsekuensi dalam hak dan kewajiban. Untuk mengamankan hak-hak yang
diperoleh dari keanggotaan ini dalam jangka panjang adalah dengan cara
memperkuat sistem perdagangan multilateral yang telah disepakati mayoritas
bangsabangsa ini. Salah satu cara untuk memperkuat sistem ini adalah dengan
bersikap konsisten terhadapnya.
e. Sebagai negara berkembang Indonesia sangat berkepentingan agar hukum yang
mengatur lalu lintas perdagangan internasional benar-benar ditegakkan. Cara
terbaik dalam menangkal tindakan sepihak negara maju yang sering merugikan
negara lemah adalah dengan berlindung di balik norma-norma hukum. Namun untuk itu Indonesia sendiri harus terlebih dahulu
menyiapkan norma-norma hukumnnya yang sangat mendasar bagi kegiatan ekonomi
yaitu mengenai hak milik dan lain-lain hak kebendaan serta hukum kontrak di
samping lain-lain bidang hukum sektoral.
f. Salah satu cara penegakan norma-norma hukum internasional adalah dengan
mengoperasionalkan mekanisme penyelesaian sengketa serta menerapkan
putusan-putusan yang dicapai secara efektif. Jika timbul perselisihan dagang
dengan mitranya, adalah lebih tepat jika Indonesia memanfaatkan forum
penyelesaian sengketa multilateral daripada penyelesaian secara bilateral,
biasanya diwarnai dengan penekanan-penekanan pihak yang lebih kuat.
g. Setelah pemerintah meratifikasi Perjanjian WTO, sikap yang diambil oleh
para pembuat kebijakan sebaiknya diarahkan pada suatu situasi persamaan hak dan
kewajiban sebagai sesama anggota WTO mengingat posisi Indonesia sebagai negara
berkembang yang terbiasa menerima perlakuan khusus akan segera berakhir sebagai
akibat keberhasilan program pembangunan ekonomi bangsa.
h.
Usaha untuk menciptakan
hubungan perdagangan yang saling menguntungkan dan tertib menuntut pula
penyesuaian-penyesuaian pada hukum dan peraturan perundang-undangan nasional
setiap negara yang terkait dengannya.
Dengan berakhirnya perundingan Uruguay Round serta
disetujui hasil perundingan tersebut oleh para menteri dari negara-negara
peserta di Marakesh April 1994, maka sistem perdagangan internasional mengalami
fase baru. GATT telah berkembang dalam wujud baru sebagai World Trade Organization yang akan menjadi organisasi
internasional dengan atribut serta dengan wewenang yang jauh lebih luas
daripada GATT. Dengan perkembangan ini maka sistem perdagangan internasional
mengalami penegasan agar lebih dapat menghadapi tantangan baru. Demikian pula dengan
berlakunya AFTA tahun 2003, dan ACFTA Tahun
2010, serta APECT yang akan berlaku bagi negara
berkembang tahun 2020, maka hendaknya Indonesia senantiasa berorientasi ke
depan, serta berupaya mengadakan identifikasi tentang perkembangan ekonomi yang
didukung kemajuan di sektor perdagangan internasional yang, yang berorientasi
pada peningkatan ekspor non migas, peningkatan daya saing, serta perluasan
pasar luar negeri.
III.
SIMPULAN
Walaupun masih adanya kontraversi
tentang perdagangan bebas, dari sudut hukum Pemerintah Indonesia telah
melakaukan ratifikasi terhadap ketentuan WTO
merupakan suatu fakta hukum yang terbentuk atas dasar kemauan politik
pemerintah untuk mendorong sistem perdagangan bebas yang tidak dapat
dihindari. Keikutsertaan Indonesia dalam melakukan perubahan di bidang hukum guna
menghadapi era perdagangan bebas disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semakin cepat dan luas sejalan dengan perubahan dalam sikap
dan pikiran manusia yang semakin maju. Sebagai akibat dari proses perubahan
tersebut, bangsa-bangsa di dunia telah bekerja sama dalam mendukung kemajuan di
bidang ekonomi melalui sektor perdagangan baik dalam tataran global maupun
regional.
Untuk mendukung
tujuan tersebut, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengesahkan UU No 7
Tahun 1994 tentang Agreement on
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan berdirinya Organisai
Perdagangan Dunia) pada tanggal 2 November 1994. Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi, kuhususnya di dalam sektor-sektor
industri, pertanian dan perdagangan. Undang-undang ini sangat mendukung upaya
Indonesia dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khususnya ekspor non
migas, yang merupakan pendukung utama pembangunan perekonomian nasional.
Melalui keanggotaannya di WTO, Indonesia berharap dapat berperan dalam
mendorong perwujudan tatanan baru di bidang perdagangan internasional.
Oleh karena itu Indonesia harus melakukan
langkah-langkah dengan membuat kebijakan di bidang
perdagangan internasional, antara lain melakukan perubahan terhadap
instrumen-instrumen hukum di bidang ekonomi internasional agar mampu
menyelesaikan masalah-masalah hukum di sektor perdagangan baik pada tataran
regonal maupun global.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 2009. Hukum
Perdagangan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Jakti, B. M. Kuntjoro. 1999, Materi
Kuliah, Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia
Hartono, Sunaryati. 1982. Hukum
Ekonomi Pembangunan Indonesaia, Cet. Pertama, (Bandung: Bina Cipta,
............... 1998. Pola Pikir Dan Kerangka Sistem hukum
Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.
Kartadjoemena H.S. 1997. GATT-WTO dan Hasil Uruguay
Round. Jakarta:
UI-Press.
Khor Kok Peng. 1993.Martin Imperialisme Ekonomi Baru
Putaran Uruguay Dan Kedaulatan Dunia Ketiga, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,
Prayitno, Hadi dan Budi Santoso. 1996.
Ekonomi Pembangunan, Cet.
Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sianipar, Nursalam, 2001.
Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam
Meng-antisipasi Pasar Bebas. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.
Widoyoko, Yoyok. 2000.‘Kelicikan’
Negara Maju dalam Perdagangan Global, Republika, 18 Februari
Pola Pikir Dan Kerangka Sistem
hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman R.I.
[1] Huala Adolf, Hukum Perdagangan
Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal 3
[2] Paham merkantilisme (mercantilism) dikemukan oleh kaum merkantilistis yang menyatakan,
bahwa dalam melakukan perdagangan internasional, suatu negara harus lebih
banyak melakukan ekspor dari pada mengimpor barang. Surplus perdagangan yang
dialamai oleh suatu negara akan meningkatkan cadangan emas yang dimiliki negara
tersebut. Pada masa itu alat tukar yang digunakan adalah emas dan perak. Agar
surplus perdagangan terjadi, maka negara harus membatasi impor dan mendorong ekspor.
Untuk memberlakukan impor negara, memberlakukan berbagai hambatan hambatan
perdagangan yan dikenakan pada barang dari luar negeri. (Lihat Hadi Prayitno
dan Budi Santoso, Ekonomi Pembangunan,
Cet. Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1996, hal. 260)
[3] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesaia, Cet. Pertama, (Bandung: Bina
Cipta, 1982), hal. 38.
[4] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi
Pembangunan Indonesaia, Cet. Pertama, (Bandung: Bina Cipta, 1982), hal. 1
[6] Nursalam Sianipar, Op.cit., hal.
66-67
[7] Martin Khor Kok Peng, Imperialisme
Ekonomi Baru Putaran Uruguay Dan Kedaulatan Dunia Ketiga, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 4
[8] Ibid, hal. xvi
[9] Ibid, hal. 48
[10] B. M. Kuntjoro Jakti, Materi
Kuliah, Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia,
1999
[12] Nursalam Sianipar,Aspek
Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar Bebas. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI., 2001, hal. 63
[15] H.S. Kartadjoemena. GATT-WTO dan Hasil
Uruguay Round, (Jakarta: UI-Press, 1997), hal. 14-15