الأحد، 13 يناير 2013

PERANAN PEMERINTAH MENGHADAPI GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PERANAN PEMERINTAH INDONESIA MENGAHADAPI

 GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

                                                            

Oleh:  Muhammad Sood


ABSTRACT

Despite the controversy about the liberalization of trade, however the government of Indonesia has ratified the WTO provisions by the discharge of the Act Number 7 Year 1994 concerning the Agreement on establishment of the World Trade Organization. This is a fact of law that formed base on the political will of the Indonesian government to encourage the free trade system as an impact of the circulation of the vital flow of goods, services, capital and labor among countries in both the regional and global level. This change mainly supported by the development of science and technology is growing rapidly and broadly, therefore nations must work together in both the global and regional level. The benefits have been felt by Indonesia in the presence of trade between nations is successful in developing its exports, especially non-oil exports.
Therefore, in international trade requires a system of international trade organization to promote the establishment of a free market, fair and open to all countries. In the world trading system, the Government of Indonesia has been struggling along with other countries actively participated success of multilateral trade negotiations within the framework of the GATT Uruguay Round in 1994, the main objective is not only focused on free trade but also fair trade. For the agenda, the Indonesian government has taken some steps of deregulation and de-bureaucratization to improve efficiency of the national economy. The program will continue to be struggled as a strategic step and is the increase of non-oil exports in order to achieve the goals of economic development in Indonesia.

Keywords: Government role, trade globalization, international trade


ABSTRAK

Meskipun adanya kontraversi tentang liberalisasi perdagangan, namun pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap ketentuan WTO dengan keluarnya UU. No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan berdirinya WTO. Hal ini merupakan suatu fakta hukum yang terbentuk atas dasar kemauan politik pemerintah untuk mendorong sistem perdagangan bebas sebagai akibat dari semakin lancarnya arus peredaran barang, jasa modal maupun tenaga kerja antar negara baik dalam tataran regional maupun global. Perubahan ini terutama didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sejalan dengan perubahan dalam sikap dan pikiran manusia yang semakin maju. Sebagai akibat dari proses perubahan tersebut, bangsa-bangsa harus bekerja sama baik dalam tataran global maupun regional. Manfaatnya telah dirasakan oleh Indonesia dengan adanya perdagangan antar bangsa adalah keberhasilan dalam mengembangkan ekspornya, terutama ekspor non-migas.
Oleh sebab itu dalam perdagangan internasional diperlukan suatu sistem penyelenggaraan perdagangan antar bangsa yang dapat mendorong terwujudnya pasar yang bebas, adil dan terbuka bagi semua negara. Dalam sistem perdagangan dunia, Pemerintah Indonesia telah berjuang bersama-sama dengan negara lain ikut serta secara aktif mensukseskan perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka GATT Putaran Uruguay tahun 1994, yang sasaran utamanya tidak hanya difokuskan pada perdagangan bebas melainkan perdagangan yang adil. Untuk itu Pemerintah telah mengambil serangkaian langkah deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan efisiensi dalam perekonomian nasional. Program tersebut akan terus diperjuangkan sebagai suatu langkah  yang strategis dalam meningkatkan produk ekspor non migas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi Indonesia.

Kata Kunci: peranan pemerintah, globalisasi perdagangan, perdagangan inernasional
                                                                 

I.    PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis internasional juga semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal dan tenaga kerja antarnegara. Kegiatan bisnis dapat terjadi melalui hubungan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba (license and franchise), hak atas kekayaan intelektual dan sebagainya.
Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan antar bangsa telah lama dilakukan oleh Suku Bugis, hal ini dinyatakan oleh PH.O.L.Tobing dalam Huala Adolf bahwa bangsa Indonesia telah mengenal perdagangan Internasional sejak abat ke 17. Salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku Bugis dalam berlayar yang hanya menggunakan perahu-perahu Bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).[1]       
Selanjutnya Indonesia mulai mengenal dunia Barat melalui perdagangan, sejak kedatangan Portugis dan kemudian zaman penjajahan Belanda. Motivasi kedatangan bangsa Barat di negara-negara Asia termasuk Indonesia pada mulanya untuk berdagang, seperti mencari rempah-rempah untuk di perdagangkan di Eropa. Namun kemudian, dengan motivasi komersial yang semula menjadi tujuan utama keberadaan bangsa Eropa menjadi tergeser oleh kepentingan yang lebih luas, yakni kepentingan penguasaan politik melalui kekuatan militer untuk menguasai ekonomi yang lebih luas. Mereka berusaha untuk menguasai negara-negara di Asia dengan menerapkan paham merkantilisme (mercantilism).[2] Kenyataan tersebut telah mempengaruhi sejarah bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia, terutama pada awal priode kolonial hingga periode kemerdekaan.
Untuk mengantisipasi kemajuan di sektor perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan regional), Indonesia memerlukan instrumen hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang berkembang dewasa ini. Hal ini diperlukan karena semakin banyaknya persoalan hukum yang menyangkut masalah-masalah ekonomi/ bisnis yang belum diatur dalam kitab undang undang hukum perdata (KUH Perdata) maupun kitab undang hukum dagang (KUHD) yang berlaku di Indonsia.
Kaidah-kaidah hukum baru yang merupakan hukum ekonomi untuk sebahagian besarnya tidak lagi berpegang pada asas-asas hukum perdata maupun hukum publik yang konvensional. Akan tetapi dengan timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru timbul pula kaidah-kaidah baru dan pranata-paranata baru yang sulit sekali dikategorikan ke dalam sistem hukum perdata maupun sistem hukum publik konvensional.[3]
Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan di bidang ekonomi, hukum bukan saja dipandang sebagai salah satu obyek atau sarana pembangunan, akan tetapi juga berfungsi sebagai suatu penunjang bagi kelangsungan pembangunan, baik dalam memberikan dasar kepastian, alat pengamanan maupun sebagai alat untuk mempercepat proses pembangunan. Jelasnya bahwa hukum merupakan alat untuk menentukan berhasil tidaknya pembangunan itu sendiri, terutama dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.
  Dengan diselenggarakannya pertemuan Double WTO, tidak terlepas dari rangkaian kebijaksanaan di sektor perdagangan. Berbagai persetujuan hasil Putaran Uruguay yang disepakati di Marrakesh (Maroco) yang berakhir tahun 1994, merupakan kesepakatan untuk memperbaiki situasi hubungan perdagangan internasional melalui upaya mempertahankan akses pasar barang dan jasa, menyempurnakan berbagai peraturan perdagangan, memperluas cakupan dari ketentuan dan disiplin GATT, dan memperbaiki kelembagaan atau institusi perdagangan multilateral antara berbagai bangsa.
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus memetuhi seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi hukum, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO. Dengan demikian Indonesia telah terikat untuk mematuhi segala kaidah-kaidah yang disepakati dalam persetujuan perdagangan internasional, termasuk melakukan perubahan baik terhadap instrumen hukum maupun kebijaksanaan pembangunan di bidang perdagangan
B.     Perumusan Masalah
Bertitiktolak dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut.
  1. Bagaimanan peranan pemerintah Indonesia dalam Perdagangan Internasional.
2.      Komitmen dan Langkah-langkah apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam mendukung Liberalisasi Perdagangan Internasional.
C.    Kerangka Teori
Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara, atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham atau teori yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nations”, yang disebut dengan ”Teori Pasar Bebas”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.[4] 
Menurut teori ini, suatu negara yang mempunyai keunggulan absolut relatif terhadap negara mitra dagangnya dalam memproduksi barang atau komoditi tentu, akan mengekspor komoditi tersebut ke negara mitra yang tidak memiliki keungulan absolut (absoluth disadventage). Demikian pula sebaliknya, sehingga dalam sistem perdagangan bebas, di antara negara-negara mitra dagang tersebut akan memiliki nilai ekspor yang sama dengan nilai impornya. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya yang akan digunakan secara lebih efisien, sehingga kesejahteraan yang akan dicapai akan lebih optimal. Namun dalam kenyataannya justru yang terjadi di Eropa adalah ketidak adilan dan kesenjangan sosial antara para pengusaha yang kaya raya dengan kaum buru atau petani yang miskin.[5]
D.    Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam hukum perdagangan internasional. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam mambangun suatu argumentasi hukum guna memecahkan isu yang dihadapi.  Sumber data adalah data kepustakaan yang dianalisis dengan menggunakan teknik dokumentasi yaitu mengkaji berbagai referensi baik peraturan perundang-undangan maupun buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan yang diangkat.  

II.    PEMBAHASAN
A.    Peranan Indonesia dalam Menghadapi Perdagangan Bebas
1.      Pro dan Kontra Terhadap Perdagangan Bebas
Dengan terbentuknya kawasan perdagangan  bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area) merupakan tantangan besar bagi Indonesia terutama dalam memposisikan para produsen atau pelaku usaha lokal atau domestik agar sejajar dengan para para pelaku usaha dari lainnya dalam menghadapi pasar bebas, baik di kawasan regional ASEAN  maupun di luar ASEAN. Kemudian semenjak 1 Januari tahun 2010 terbentuk pula kawasan perdagangan bebas China-ASEAN (China-ASEAN Free trade Area/CAFTA). Adanya kawasan pasar bebas tersebut diharapkan dapat meningkat pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama peningkatan ekspor non migas. 
Sebaliknya pandangan yang pesimis terhadap Persetujuan Putaran Uruguay di Marrakech (Morocco) tahun 1994, timbul karena adanya perbedaan kekuatan ekonomi antara negara di dunia. Negara-negara maju mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang di Selatan. Negara-negara maju melalui kegiatan yang bersifat multinasional telah menguasai teknologi, dana dan jaringan industri serta perdagangan dunia, sedangkan Negara berkembang relatif masih tergolong miskin. Kesepakatan Uruguay dihawatirkan akan dapat merugikan negara berkembang terutama dalam masalah produksi dan perdagangan komoditi pertanian, industri dan jasa. Hal ini dapat terjadi karena produk-produk tersebut di negara berkembang masih merupakan masalah besar dan belum efisiensi, baik karena rendahnya kemampuan teknologi maupun karena kualitas sumber daya manusia masih rendah. Di sisi lain perdagangan bebas akan menyebabkan penyerbuan produk-produk negara maju yang dipasarkan di negara berkembang karena kualitasnya dan teknologinya baik, harganya lebih murah. Lebih-lebih pemasaran tersebut dilakukan di Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat padat penduduknya dengan perilaku yang sangat konsumtif, hal ini sangat penting sebagai kawasan pemasaran yang potensial bagi produk-produk negara maju. 
Tidak dapat dihindari bahwa kontraversi tentang perdagangan bebas masih ada di kalangan para ahli, baik yang berasal dari negara lain maupun dari dalam negeri sendiri, antara lain Sri Edi Swasono dalam Nursalam Sianipar misalnya menilai bahwa"[6].
a.    Pasar bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.    Pasar bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indo­nesia.
c.    Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum Inlander (kaum terjajah) yang jauh di bawah martabat kaum Eropah dan Timur Asing.
d.   Pasar bebas menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli akan menjadi penonton belaka, berada di luar pagar­pagar transaksi ekonomi.
e.    Pasar bebas melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi yang penting ba­negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan partikelir dan asing.
f.    Pasar bebas mencari keuntungan ekonomi. Pasar bebas menggeser, dan menggusur rakyat dan tanah dan usaha-usaha ekonominya,
g.    Pasar bebas memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong ter-bentuknya polarisasi sosial ekonomi, memperenggang persatuan nasional.
h.    Pasar bebas melihat sistem ekonomi subordinasi yang ekploitatif dan diskriminatif terhadap yang lemah.
i.     Kemudian pasar bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorng lidah kita bicara palsu, membabi buta anti subsidi, anti proteksi demi efisiensi yang jarang memberi manfaat bagi si lemah.
Pendapat tersebut tampaknya termasuk ke dalam paham yang tidak menyetujui negara-negara berkembang terlalu terlibat dalam perdagangan bebas karena hanya akan lebih menyengsarakannya. Pendapatnya juga sangat nasionalistik tanpa menghiraukan hasil-hasil konkret yang telah dicapai negara-negara di dunia yang telah mengikuti perdagangan bebas.
Kritikan terhadap kesepakatan Uruguay juga dikemukakan oleh Martin Khor Kok Peng yang menyatakan, “bahwa melalui Putaran Uruguay itu, negara-negara industri berusaha untuk memperluas dan memperketat kontrol mereka terhadap ekonomi dunia pada umumnya, maupun terhadap ekonomi nasional negara-negara Dunia Ketiga. Dalam banyak bidang negosiasi negara-negara industri berusaha untuk meremehkan atau menggeser sama sekali seluruh prinsip pembangunan yang sampai saat ini telah diterima di lingkungan GATT”.[7] 
Selanjutnya Arief Budiman dalam Martin Khor Kok Peng mengemukakan bahwa, perundingan internasional yang dikenal dengan nama Putaran Uruguay, merupakan salah satu bentuk dari usaha memaksa prinsip pasar bebas ke negara-negara Dunia Ketiga. Yang dirundingkan adalah supaya semua bentuk proteksi dihilangkan, baik terhadap barang industri maupun terhadap jasa. Juga hak paten yang banyak dikuasai oleh negara-negara industri maju harus dihormati oleh negara-negara Dunia Ketiga. Ini berarti bahwa pasar di semua negara di dunia ini harus siap untuk diinternasionalisasikan".[8]
Perundingan GATT dalam Putaran Uruguay, merupakan agenda negara-negara industri yang secara radikal melakukan restukturisasi terhadap GATT, sehingga mereka dapat memperluas kekuasaan mereka terhadap dunia ketiga dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, mereka akan mampu memaksakan berbagai peraturan baru untuk memaksimalkan kegiatan perusahaan mereka berdasarkan prinsip perdagangan bebas (tanpa ada campur tangan negara) di negara-negara Dunia Ketiga.
Penerapan liberalisasi ekonomi yang tercermin melalui perdagangan internasional, bagi negara-negara berkembang ternyata banyak mengundang masalah, terutama menyangkut kesiapan pelaku ekonomi dalam berkompetisi. Demikian pula dengan kesiapan perangkat hukum sebagai penunjang atas berlakunya liberalisasi perdagangan belum menampakkan supremasinya. Hal ini merupakan persoalan yang paling krusial bagi negara berkembang terutama mengenai eksistensi liberalisasi ekonomi yang dipercaya mampu menciptakan kemakmuran yang optimal bagi masyarakat.
Selogan pasar bebas, perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, bertujuan untuk memaksimalkan kebebasan dan sumber-sumber yang harus diberikan kepada berbagai perusahaan transnasional untuk beroperasi. Pada saat yang sama negara industri maju menuntut minimalisasi campur tangan pemerintah untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Upaya berbagai perusahaan untuk merebut pasar bebas, deregulasi, dan privatisasi itu dimulai pada tingkat nasional dan seterusnya diperluas ke tingkat internasional dengan menggunakan konsep pasar bebas.
Oleh karena itu apabila usulan negara-negara industri diterima oleh negara-negara Dunia Ketiga yang umumnya sebagai negara berkembang, maka mereka akan kehilangan sebahagian besar dari hak mereka untuk mengatur ekonomi, lingkungan, kesehatan dan bahkan kebudayaan mereka. Hak ini akan beralih kepada perusahaan-perusahan yang diberi berbagai kebebasan dari campur tangan dan intervensi negara di Negara Dunia Ketiga.
Menurut Martin Khor Kok Peng, “dalam Perundingan Putaran Uruguay seharusnya yang diperjuangkan oleh negara-negara Dunia Ketiga adalah perda-gangan yang adil, bukan perdagangan bebas. Apa yang sangat dibutuhkan adalah tatanan ekonomi internasional yang mengakui serta melayani berbagai kebutuhan pembangunannya, yaitu kebutuhan untuk memproduksi berbagai produk yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan manusiawi warga masyarakat, kebutuhan akan pembagian sumber daya yang semakin adil dan merata, serta kebutuhan akan bentuk-bentuk pembangunan yang berkelanjutan secara ekologis".[9]
Sehubungan dengan pendapat di atas, agar tata ekonomi dunia seperti itu dapat terwujud, seharusnya negara-negara Utara (negara-negara industri) mengakui bahwa mereka memiliki hutang historis yang besar terhadap Selatan (Dunia Ketiga) karena selama berabad-abad mereka melakukan eksploitasi baik terhadap sumber daya manusia, finansial, maupun sumberdaya alam negara-negara Selatan. Sebagai akibat dari eksploitasi tersebut, negara-negara Selatan secara ekonomis tidak mampu bersaing di bawah persyaratan yang sama dengan negara-negara industri maju. Itulah sebabnya negara-negara Dunia Ketiga menganggap prinsip pembangunan sebagai suatu konsep yang sangat penting untuk diikuti dalam Putaran Uruguay. Mereka perlu diberi kesempatan untuk mengutamakan kebutuhan pembangunan mereka sebagai prioritas dalam melakukan negosiasi mengenai syarat persetujuan dalam berbagai bidang di dalam Putaran Uruguay.
Menurut BM. Koentjoro Jakti, sebagai salah satu negara yang telah menandatangani kesepakatan liberalisasi perdagangan intenasional (WTO) pada putaran Uruguay di Marakech (Marocco) tahun 1994, Indonesia harus menerima risiko menghadapi persaingan yang semakin ketat, demikian pula dengan berlakunya AFTA semenjak tahun 2003. Kesepakatan tersebut harus diterima oleh Indonesia jika tidak ingin terisolasi dari Negara ASEAN lainnya, lebih-lebih di kawasan ASEAN Indonesia adalah satu-satunya negara yang yang dulunya merupakan jajahan Belanda yang menganut sistem hukum Kontinental (Civil Law). Sementara sebahagian besar negara-anggota ASEAN lainnya merupakan bekas jajahan Inggris yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Sebagai negara bekas jajahan Inggris, negara-negara tersebut tidak akan banyak memberikan harapan untuk mendukung Indonesia dalam bernegosiasi atau diplomasi guna memperjuangkan hak dan kepentingannya dalam sidang WTO. Negara-negara tersebut secara emosional bahkan lebih cenderung untuk mendukung negara bekas penjajahnya, misalnya melalui Organisasi Negara Persemakmuran (Commonwealth). Hal ini merupakan problem bagi Indonesia untuk tidak dapat menolak WTO meskipun kemungkinan lebih banyak merugikan Indonesia sebagai negara berkembang. Selain itu kapabilitas wakil Indonesia di sidang WTO dalam bernegosiasi masih lemah, mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada bantuan luar negeri terutama bantuan dari negara-negara maju yang menganut sistem hukum Common Law.[10]
Dalam menghadapi persaingan yang cenderung akan semakin ketat, Indonesia memerlukan kesiapan, terutama upaya peningkatan sumber daya manusia, efesiensi, teknologi, dan kualitas produk, serta perbaikan sistem dan pranata hukum yang mampu mendukung kegiatan bisnis yang semakin modern dan global.
 Menurut Sunaryati Hartono, "segala perubahan dengan berbagai implikasi baik dalam lingkup nasional, regional maupun global perlu terus dipantau dengan sikap terbuka, agar kita mencari jalan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, tanpa merugikan kepentingan nasional. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan hubungan ekonomi dan perdagangan di masa depan khususnya untuk menunjang pelaksanaan AFTA, GATT, dan Deklarasi Bogor, maka hukum ekonomi nasionalpun perlu di up-datekan, baik hukum nasional yang berbentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, keputusan arbitrase, maupun hukum kebiasaan dagang, termasuk lembaga, mekanisme pranata maupun sarana hukum, fisik maupun non fisik".[11] 
Kondisi interdependensi dan kebutuhan perdagangan antar bangsa memerlukan pengaturan sesuai dengan norma-norma hukum ekonomi internasional, agar kelancaran perdagangan lebih terjamin guna memajukan kondisi ekonomi suatu negara. Banyaknya hambatan perdagangan yang selama ini telah menyebabkan kelesuan ekonomi, sehingga disadari perlunya kesepakatan untuk memperlancar arus barang, jasa maupun modal antar negara. Dengan dikuranginya atau dihapusnya hambatan perdagangan antar negara, maka masing-masing negara akan saling berkompetisi untuk merebut pasar negara lain, sekaligus juga mempertahankan pasar dalam negeri.
Adanya perdagangan internasional diharapkan dapat meningkat pertumbuhan ekonomi dunia terutama bagi negara-negara berkembang berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang tuangkan dalam GATT/WTO. Namun demikian, prinsip-prinsip tersebut masih dirasakan tidak adil oleh negara-negara berkembang, maupun lembaga swadaya masyarakat dan organisasi buruh di negara maju. Kebijaksanaan tersebut bahkan kurang memperhatikan masalah lingkungan dan nasib tenaga kerja, akan tetapi lebih memberikan peluang bagi negara maju untuk menguasai pasar dalam negeri negara-negara berkembang. Sementara negara-negara maju tetap ingin mempertahankan pasar dalam negerinya terhadap masuknya barang maupun jasa dari negara berkembang.
Meskipun perdagangan bebas tidak selamanya memberikan dampak positif terhadap kemajuan ekonomi negara berkembangan, namun Indo­nesia tidak dapat menutup diri dari arus globalisasi dengan cara melakukan kebijakan proteksionisme. Kepentingan bangsa dan negara kita ini tidak mungkin dapat dicapai dengan cara menutup diri dari dunia luar. Globalisasi harus diterima sebagai realitas masyarakat internasional kontemporer tidak dapat dihindari. Oleh karena itu Indonesia harus ikut bermain di dalam perdagangan bebas untuk bersaing dengan negara-negara lain, sehingga dapat mengenal kelemahan dan kekuatan sendiri serta mampu memanfaatkannya.
Demikian pula dengan para pembuat kebijakan hendaknya tidak lagi melihat dunia secara konfrontatif, memandang negara-negara maju sebagai penjajah dan negara berkembang sebagai terjajah, karena cara berpikir demikian tidak bermanfaat. Kecenderungan negara-negara di dunia menerima perdagangan bebas, hampir semua negara adalah anggota WTO atau tengah menunggu menjadi anggota. Negara-negara berkembang telah menjadi anggota dari organisasi perdagangan internasional, baik global maupun regional karena banyak manfaat yang dapat diperolehnya. Untuk menjamin hak-hak dan kewajibannya yang sudah disepakati bersama, maka diperlukan instrumen hukum yang dapat menyelesaikan permasa-lahan hukum bagi terwujudnya sistem perdagangan yang bebas, tertib dan adil.
2.      Peran Indonesia Dalam Perdagangan Internasional
Terlepas dari masih adanya kontraversi tentang perdagangan bebas, dari sudut hukum bahwa ratifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap WTO merupakan suatu fakta hukum yang terbentuk atas dasar kemauan politik pemerintah untuk mendorong sistem perdagangan bebas yang tidak dapat dihindari. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat dan luas sejalan dengan perubahan dalam sikap dan pikiran manusia yang semakin maju. Sebagai akibat dari proses perubahan tersebut, bangsa-bangsa harus bekerja sama baik dalam tataran global maupun regional.
Manfaat yang dirasakan oleh Indonesia  dengan adanya perdagangan antar bangsa adalah keberhasilan dalam mengembangkan ekspornya, terutama ekspor non-migas. Menurut Nursalam Sianipar, sampai dewasa ini Indonesia telah menikmati fasilitas sistem proferensi umum (generalized system of preference/ GSP) yang berupa pengurangan dan penghapusan bea masuk atas ribuan produk ekspor oleh beberapa negara maju seperti AS, MEE, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang.[12]
Menghadapi sikap diskriminatif dari negara-negara maju terhadap impor dari negara-negara berkembang, Pemerintah Indonesia hendaknya lebih berperan untuk menekankan adanya pengaturan multilateral sebagaimana dimuat GATT yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi, yang dalam hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan bangsa dapat ditingkatkan melalui perdagangan bebas serta  berlandaskan asas non-diskriminasi. Meskipun ide tersebut masih jauh dari kenyataannya, namun sistem ini semakin berkembang yakni melalui berbagai putaran perundingan perdagangan multi­lateral, tidak saja mampu untuk meningkatkan keterbukaan dan kebebasan perdagangan dunia, melainkan juga sistem perdagangan yang adil antar bangsa.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Soedradjat J. Djiwandono dalam Nursalan Sanipar, bahwa “ekonomi Indonesia telah makin beragam dan berdaya saing dalam keadaan seperti ini, kepentingan utama ekonomi nasional adalah tersedianya pasar yang bebas dan terbuka serta meluas. Oleh sebab itu dalam perdagangan internasional diperlukan suatu sistem penyelenggaraan perdagangan antar bangsa yang dapat mendorong terwujudnya pasar yang bebas, adil dan terbuka bagi semua pelakunya. Dalam sistem perdagangan dunia. perjuangan nasional harus dilakukan untuk bersama negara lain ikut serta secara aktif mengusahakan suksesnya perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka GATT Putaran Uruguay tahun 1994, yang sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kebutuhan dan kebebasan perdagangan dunia Inilah yang mendasari peningkatan kegiatan Indonesia dalam perundang-undangan multilateral".[13]
Lebih Lanjut Soedradjat menegaskan keyakinannya bahwa, "Kegagalan penciptaan aturan main perdagangan antar bangsa yang lebih terbuka, bebas, dan adil untuk semua negara dan perekonomian akan berati merajalelanya proteksi dan fragmentasi perdagangan dengan segala konsekuensinya perdagangan dunia akan menciut, pengangguran akan membengkak dan kemakmuran akan menurun. Kiranya semua negara di dunia tidak menghendaki hal itu terjadi. Karena itu, segala upaya harus dilakukan untuk tercapainya kesepakatan dunia berhasilnya Putaran Uruguay".[14]
Dukungan Indonesia terhadap sistem perdagangan yang terbuka telah ditunjukkan oleh kebijakan deregulasi yang telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Semenjak dua puluh tahun terakhir, ekonomi Indonesia dapat disebut sebagai dasa warsa reformasi. Paket demi paket deregulasi diumumkan, bisnis-bisnis yang tertutup atau dibatasi bagi pendatang baru tinggal sedikit sekali.
Manfaat keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar interna-sional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik lagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi dibutuhkan upaya-upaya untuk antara lain mampu meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk, baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional. Untuk  mendukung tujuan tersebut, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement on Establishing the World Trade Organization (Persetujuan berdirinya Organisai Perdagangan Dunia) pada tanggal 2 November 1994.
Dengan diratifikasi persetujuan berdirinya WTO tersebut, artinya Indonesia telah resmi menerima kesepakatan WTO. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan internasional antara lain, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Keberadaan peraturan perundang-undangan ini diharapkan dapat memberi-kan manfaat bagi pembangunan ekonomi, kuhususnya di dalam sektor-sektor industri, pertanian dan perdagangan. Undang-undang ini sangat mendukung upaya Indonesia dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khususnya ekspor non migas, yang merupakan pendukung utama pembangunan perekonomian nasional. Melalui keanggotaannya di WTO, Indonesia berharap dapat berperan dalam mendorong perwujudan tatanan baru di bidang perdagangan internasional.
Menurut H.S. Kartadjoemena, dengan melihat masalah dalam konteks yang lebih fundamental lagi, dapat dikemukakan bahwa kepentingan dasar Indonesia untuk turut serta secara aktif dalam Perundingan Uruguay Round. Perundingan tersebut tidak terlepas dari kepentingan Indonesia, yakni sebagai berikut:[15]
a.       Pembangunan nasional secara menyeluruh merupakan tujuan utama Pemerintah Indonesia.
b.      Di bidang ekonomi, tujuan pembangunan hanya dapat tercapai apabila Indonesia dapat mencapai dan mempertahankan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, dengan tingkat inflasi yang terkendali, serta tetap mempertahankan aspek pemerataan.
c.       Dalam upaya untuk mencapai laju pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, sektor luar negeri telah memegang peranan penting. Hal ini akan tetap berlaku sampai tahun-tahun mendatang, karena pasar dalam negeri dengan tingkat pendapatan nasional per kapita yang relatif masih terlalu rendah, tidak dapat menjadi motor pendorong laju pertumbuhan pendapatan nasional yang cukup tinggi.
d.      Berbeda dengan tahun 1970-an, ketika penghasilan dari sektor migas menjadi andalan dari program pembangunan, dan sejak tahun 1980-an, Indonesia memusatkan perhatian terutama pada sektor non-migas.
e.       Agar ekspor non-migas dapat terus berkembang dengan pesat, maka Pemerintah telah mengambil serangkaian langkah deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan efisiensi dalam perekonomian. Program tersebut akan terus dilakukan, karena kepentingan nasional menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan suatu hal yang strategis dan sangat tepat untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang yang telah ditentukan oleh pihak Indonesia.
Keharusan Indonesia untuk berperanserta secara aktif dalam sistem perdagangan multilateral dilandasi oleh banyak alasan antara lain karena sebagai suatu sistem ekonomi Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari sistem-sistem ekonomi negara lain yang kesemuanya membentuk sistem ekonomi internasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan sub sistem dari sistem yang lebih besar yaitu sistem ekonomi internasional. Guna meningkatkan sistem perekonomiannya Indonesia sangat bergantung pada sistem perekonomian negara lain dan sistem ekonomi internasional oleh karena itu harus terdapat keselarasan di antara sistem-sistem ekonomi ini. Suatu hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan kebijakan ekonomi internasional yakni terdapatnya kepentingan yang berbeda-beda di antara negara­-negara pelaku perdagangan internasional. Sebagai Konsekuensinya adalah timbulnya conflic of interest sehingga diperlukan mekanisme penyelesaian konflik yang mampu memberikan hasil maksimal bagi semua pihak dan sejauh mungkin dihindari adanya pihak yang dirugikan.
Pilihan Indonesia terhadap perdagangan bebas dapat dicari landasannya dari analisis tentang kekuatan, kelemahan, kesempatan serta ancaman-ancaman yang dimiliki yang dihadapi oleh Indonesia sendiri. Kekuatan Indonesia yang terletak dalam kekayaan potensial baik dalam sumber daya alam maupun manusia. Kekayaan potensial ini diefektifkan lewat kehendak poitik (politic will) pemerintah. Jika dilihat ke belakang, sejak tahun 1980-an pemerintah terus melancarkan reformasi kebijakan ekonomi guna memaksimalkan hasil-hasil pembangunan. Puluhan paket kebijaksanaan telah diberlakukan. Namun sebagai negara berkembang Indonesia memiliki banyak kelemahan yang harus disadari dan diwaspadai dalam kancah perdagangan internasional. Di samping itu, seperti negara berkembang pada umumnya Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di berbagai bidang kegiatan ekonomi dan tertinggal jauh dari negara-negara maju di bidang teknologi, maka melalui perdagangan internasional sebagaimana ingin diciptakan dalam sistem GATT dan WTO menawarkan kesempatan bagi semua negara untuk meningkatkan taraf hidup di bawah disiplin multilateral. Kelemahan-kelemahan Indonesia jika dilihat secara positif dapat merupakan peluang untuk terus meningkatkan pangsa pasar komoditi Indonesia dalam perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO yang sedemikian jauh telah mendatangkan hasil positif bagi semua anggotanya.
Dalam menyambut hasil-hasil Putaran Uruguay, delegasi Indonesia telah memberikan pernyataan yang antara lain berisikan pandangan-pandangan sebagai berikut:[16]
a.    Meskipun menyadari beban atas kewajiban-kewajiban baru yang berlaku, namun dapat diterima paket Putaran Uruguay karena berkeyakinan bahwa masa depan pertumbuhan ekonomi dunia dan kemakmuran global serta prospek pembangunan di negara-negara berkembang bergantung pada keterbukaan dan sistem perdagangan internasional yang adil.
b.    Di antara kewajiban-kewajiban baru yang dipandang sebagai konsesi utama adalah perjanjian tentang hak milik intelektual. Guna melaksanakan perjanjian tersebut sepenuhnya, Indonesia memerlukan bantuan teknik dari mitra negara- negara maju. Dengan penyesuaian-­penyesuaian yang akan dilakukan oleh Indonesia, maka yang paling dibutuhkan adalah kerja sama teknik dan bukan gangguan hukum (legal harassment).
c.    Di bidang jasa, negara - negara berkembang, termasuk Indonesia telah menerima kewajiban sebagai bagian dari paket global, meskipun untuk itu harus berkorban. Konstribusi di bidang ini untuk sistem perdagangan multilateral haruslah diakui.
d.   Peluang akses pasar yang lebih besar bagi semua negara mitra dagang merupakan tujuan utama Putaran Uruguay. Negara-negara berkembang mengharapkan dapat memperoleh akses lebih besar bagi ekspornya di tahun-tahun mendatang. Indonesia telah mengajukan 94% dari cakupan produknya untuk impor dengan tarif yang diikat; angka tersebut merupakan kenaikan substansial di bidang konsesi sebelumnya.
e.    Dalam paket Putaran Uruguay juga disepakati agar produk tekstil dan pertanian secara bertahap dapat sejalan dengan disiplin multilateral. Indonesia berharap bahwa perjanjian yang baru pada gilirannya akan menjadikan praktek-praktek dagang di sektor ini akan sejalan dengan aturan GATT serta menghilangkan praktik-praktik diskriminasi terhadap negara-negara berkembang.
f.    Sistem perdagangan dunia yang terbuka dan dinamis juga membutuhkan kesediaan dari semua pihak untuk menerima peralihan dalam keuntungan komparatis serta untuk melaksanakan penyesuaian struktural apabila diperlukan; tidak mengalihkan beban penyesuaian kepada mitra dagang yang lemah.
g.    Negara-negara berkembang menyadari keharusan untuk melakukan penyesuaian struktural. Negara-negara berkembang telah memberikan bagiannya dalam memperkuat sistem multilateral dengan melaksanakan reformasi domestiknya guna menjadikan perekonomian­nya lebih tanggap terhadap pasar, dan dengan meliberalisasikan rejim perdagangannya sementara berlangsungnya Putara Uruguay. Negara-negara berkembang telah melakukan perubahan-perubahan tersebut meskipun menghadapi risiko politik dan pengorbanan sosial.
h.    Dalam kaitan ini, Indonesia mencatat dengan prihatin tentang adanya tendensi baru di negara-negara maju, yaitu dengan menggunakan dalih kepedulian sosial dan lingkungan untuk membatasi perdagangan. Proteksi tersamar ini tidak hanya akan menghambat keuntungan komparatif negara-negara berkembang tetapi juga akan menimbulkan risiko dibukanya kembali keseimbangan yang telah susah payah dicapai antara hak. kewajiban dan kepentingan dari semua pihak sebagaimana tercakup dalam Final Act.
i.     Menjadikan kewajiban semua pihak untuk tidak memperlemah WTO yang masih akan dibentuk dengan cara membebaninya dengan isu-isu kontroversial. Sebaliknya, kita berharap agar organisasi baru tersebut dapat secara efektif bertindak sebagai "penjaga" sistem perdagangan multilateral yang didasarkan atas aturan. dapat diramalkan, dan non- diskriminasi. Demikian pula diharapkan agar organisasi baru tersebut dapat bertindak sebagai "penjamin" dari hak-hak para mitra dengan yang lemah terhadap tindakan sewenang-wenang dan multilateral dari pihak yang kuat.

B.     Komitmen dan Langkah-Langkah Pemerintah Indonesia dalam Mendukung Liberalisasi Perdagangan Internasional
1.      Komitmen Pemerintah dalam mendukung Perdagangan Internasional
Sebagai tindak lanjut dari upaya pengembangan ekonomi nasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Indonesia telah menentukan ”arah kebijaksanaan di bidang hukum” dalam mendukung kegiatan ekonomi yang merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, diatur dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pemba-ngunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025. Dalam Lampiran Bab IV. 1.2 Huruf A, tentang Reformasi Hukum dan Birokrasi”, khususnya pada angka 1 dinyatakan bahwa: ”Pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujud-nya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum”.
Sehubungan dengan arah kebijakan yang terkandung dalam RPJP 2005-2025 tersebut, maka untuk mewujudkan pertumbuhan di bidang ekonomi, Indonesia perlu menggalang kerja sama internasional, di segala bidang termasuk kerjasama di bidang hukum dan ekonomi dalam upaya menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional. Salah satu sektor yang sedang dan terus digalakkan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional adalah sektor perdagangan dan Industri, yang mengarah pada peningkatan ekspor non migas, peningkatan daya saing, serta perluasan pasar luar negeri. 
Dalam menghadapi perkembangan, perubahan, dan kecenderung global serta memanfaatkan peluang yang ada, Indonesia terus berusaha ikut serta dalam upaya meningkatkan kerja sama antara negara untuk mempercepat terwujudnya pertumbuhan ekonomi yakni melalui sistem perdagangan internasional yang terbuka, adil dan tertib, serta bebas dari hambatan dan pembatasan yang selama ini dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional. Hubungan kerja sama tersebut selanjutnya diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan stabilitas nasional yang merupakan tujuan pembangunan nasional.
Partisipasi aktif negara-negara bekembang dalam Putaran Uruguay termasuk Indonesia, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya sudah lebih nyata daripada putaran-­putaran perundingan sebelumnya. Beberapa unsur penting dari komitmen Indonesia terdiri dari:[17]
a.    Tarifikasi hambatan-hambatan non-tarif dalam perdagangan hasil-hasil pertanian.
b.    Pengikatan (binding) seluruh tarif dalam sektor pertanian, di aniaranya 1014 posisi pada tingkat 40%, 27 posisi pada tingkat di bawah 40%, dan 300 posisi pada tingkat di atas 40%.
c.    Pengikatan bagian terbesar tarif atas produk perindustrian, di antaranya 6848 posisi pada tingkat 40%, 688 posisi pada tingkat di bawah 40°..
d.   Penghapusan selama masa transisi hambatan non tarif dalam 98 posisi tarif dan penghapusan Bea masuk tambahan (surcharge) dalam 172 posisi tarif.

2.    Langkah-langkah yang harus diambil Pemerintah
Dalam rangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional, keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta kemantapan sistem perdagangan internasional di samping kemampuan penyusun ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia adalah tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam perkembangan perdagangan antar negara. Tatanan yang dimaksud adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT).
Dalam menghadapi dan mendukung era gloabalisasi perdagangan internasional, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu:[18] 
a.    Dalam era perdagangan bebas dan era globalisasi setiap pembuat kebijakan di bidang perdagangan internasional, demikian juga para pelaksana di lapangan dituntut untuk memiliki wawasan internasional. Dalam praktik, hal ini berarti penguasaan instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait dengan perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di lapangan.
b.    Dari kecenderungan-kecenderungan yang tengah berlangsung di arena internasional, haruslah disadari bahwa kepentingan nasional perlu diperjuangkan dengan lebih baik dan aman dalam konteks saling ketergantungan yang menguntungkan semua bangsa, bukan dengan cara saling melemparkan masalah kepada bangsa lain.
c.    Dalam era globalisasi, konsep kedaulatan harus dipergunakan dengan kearifan yang tinggi mengingat konsep ini telah mengalami perubahan yang substansial argumentasi negara berdaulat tidak dapat digunakan hanya sebagai alat untuk menolak kewajiban internasional yang timbul dari suatu kesepakatan mul­tilateral, sebab jika dianut secara ekstrim argumentasi tersebut akan mencetuskan konflik bahkan anarki di arena internasional.
d.   Keanggotaan Indonesia dalam WTO merupakan suatu kenyataan hukum yang membawa konsekuensi dalam hak dan kewajiban. Untuk mengamankan hak-hak yang diperoleh dari keanggotaan ini dalam jangka panjang adalah dengan cara memperkuat sistem perdagangan multilateral yang telah disepakati mayoritas bangsa­bangsa ini. Salah satu cara untuk memperkuat sistem ini adalah dengan bersikap konsisten terhadapnya.
e.    Sebagai negara berkembang Indonesia sangat berkepentingan agar hukum yang mengatur lalu lintas perdagangan internasional benar-benar ditegakkan. Cara terbaik dalam menangkal tindakan sepihak negara maju yang sering merugikan negara lemah adalah dengan berlindung di balik norma-norma hukum. Namun untuk  itu Indonesia sendiri harus terlebih dahulu menyiapkan norma-norma hukumnnya yang sangat mendasar bagi kegiatan ekonomi yaitu mengenai hak milik dan lain-­lain hak kebendaan serta hukum kontrak di sampin­g lain-lain bidang hukum sektoral.
f.    Salah satu cara penegakan norma-norma hukum internasional adalah dengan mengoperasionalkan mekanisme penyelesaian sengketa serta menerapkan putusan-putusan yang dicapai secara efektif. Jika timbul perselisihan dagang dengan mitranya, adalah lebih tepat jika Indonesia memanfaatkan forum penyelesaian sengketa multilateral daripada penyelesaian secara bilateral, biasanya diwarnai dengan penekanan-penekanan pihak yang lebih kuat.
g.    Setelah pemerintah meratifikasi Perjanjian WTO, sikap yang diambil oleh para pembuat kebijakan sebaiknya diarahkan pada suatu situasi persamaan hak dan kewajiban sebagai sesama anggota WTO mengingat posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang terbiasa menerima perlakuan khusus akan segera berakhir sebagai akibat keberhasilan program pembangunan ekonomi bangsa.
h.    Usaha untuk menciptakan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan dan tertib menuntut pula penyesuaian-penyesuaian pada hukum dan peraturan perundang-undangan nasional setiap negara yang terkait dengannya.
Dengan berakhirnya perundingan Uruguay Round serta disetujui hasil perundingan tersebut oleh para menteri dari negara-negara peserta di Marakesh April 1994, maka sistem perdagangan internasional mengalami fase baru. GATT telah berkembang dalam wujud baru sebagai World Trade Orga­nization yang akan menjadi organisasi internasional dengan atribut serta dengan wewenang yang jauh lebih luas daripada GATT. Dengan perkembangan ini maka sistem perdagangan internasional mengalami penegasan agar lebih dapat menghadapi tantangan baru. Demikian pula dengan berlakunya AFTA tahun 2003, dan ACFTA Tahun 2010, serta APECT yang akan berlaku bagi negara berkembang tahun 2020, maka hendaknya Indonesia senantiasa berorientasi ke depan, serta berupaya mengadakan identifikasi tentang perkembangan ekonomi yang didukung kemajuan di sektor perdagangan internasional yang, yang berorientasi pada peningkatan ekspor non migas, peningkatan daya saing, serta perluasan pasar luar negeri.

III.  SIMPULAN
Walaupun masih adanya kontraversi tentang perdagangan bebas, dari sudut hukum Pemerintah Indonesia telah melakaukan ratifikasi terhadap ketentuan WTO merupakan suatu fakta hukum yang terbentuk atas dasar kemauan politik pemerintah untuk mendorong sistem perdagangan bebas yang tidak dapat dihindari. Keikutsertaan Indonesia dalam melakukan perubahan di bidang hukum guna menghadapi era perdagangan bebas disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat dan luas sejalan dengan perubahan dalam sikap dan pikiran manusia yang semakin maju. Sebagai akibat dari proses perubahan tersebut, bangsa-bangsa di dunia telah bekerja sama dalam mendukung kemajuan di bidang ekonomi melalui sektor perdagangan baik dalam tataran global maupun regional.
Untuk  mendukung tujuan tersebut, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengesahkan UU No 7 Tahun 1994 tentang Agreement on Establishing the World Trade Organization (Persetujuan berdirinya Organisai Perdagangan Dunia) pada tanggal 2 November 1994. Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi, kuhususnya di dalam sektor-sektor industri, pertanian dan perdagangan. Undang-undang ini sangat mendukung upaya Indonesia dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khususnya ekspor non migas, yang merupakan pendukung utama pembangunan perekonomian nasional. Melalui keanggotaannya di WTO, Indonesia berharap dapat berperan dalam mendorong perwujudan tatanan baru di bidang perdagangan internasional.
Oleh karena itu Indonesia harus melakukan langkah-langkah dengan membuat kebijakan di bidang perdagangan internasional, antara lain melakukan perubahan terhadap instrumen-instrumen hukum di bidang ekonomi internasional agar mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum di sektor perdagangan baik pada tataran regonal maupun global.

DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 2009. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Jakti, B. M. Kuntjoro. 1999, Materi Kuliah, Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia
Hartono, Sunaryati. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesaia, Cet. Pertama, (Bandung: Bina Cipta,
............... 1998. Pola Pikir Dan Kerangka Sistem hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.
Kartadjoemena H.S. 1997. GATT-WTO dan Hasil Uruguay Round. Jakarta: UI-Press.  
Khor Kok Peng. 1993.Martin Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay Dan Kedaulatan Dunia Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Prayitno, Hadi dan Budi Santoso. 1996.  Ekonomi Pembangunan, Cet. Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia.    
Sianipar, Nursalam, 2001. Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Meng-antisipasi Pasar Bebas. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI. 
Widoyoko, Yoyok. 2000.‘Kelicikan’ Negara Maju dalam Perdagangan Global, Republika, 18 Februari
Pola Pikir Dan Kerangka Sistem hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.
                                                                                                                                      



[1] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal 3
[2] Paham merkantilisme (mercantilism) dikemukan oleh kaum merkantilistis yang menyatakan, bahwa dalam melakukan perdagangan internasional, suatu negara harus lebih banyak melakukan ekspor dari pada mengimpor barang. Surplus perdagangan yang dialamai oleh suatu negara akan meningkatkan cadangan emas yang dimiliki negara tersebut. Pada masa itu alat tukar yang digunakan adalah emas dan perak. Agar surplus perdagangan terjadi, maka negara harus membatasi impor dan mendorong ekspor. Untuk memberlakukan impor negara, memberlakukan berbagai hambatan hambatan perdagangan yan dikenakan pada barang dari luar negeri. (Lihat Hadi Prayitno dan Budi Santoso, Ekonomi Pembangunan, Cet. Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1996, hal. 260)        
[3] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesaia, Cet. Pertama, (Bandung: Bina Cipta, 1982), hal. 38.
[4] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesaia, Cet. Pertama, (Bandung: Bina Cipta, 1982), hal. 1
[5] Ibid.
[6] Nursalam Sianipar, Op.cit., hal. 66-67                    
[7] Martin Khor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay Dan Kedaulatan Dunia Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 4
[8] Ibid, hal. xvi                                                                    
[9] Ibid, hal. 48
[10] B. M. Kuntjoro Jakti, Materi Kuliah, Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
 [11] Sunaryati Hartono, Pola Pikir Dan Kerangka Sistem hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I., hal. 47
[12] Nursalam Sianipar,Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar Bebas. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI., 2001, hal. 63 
[13] Ibid.
[14] Ibid., hal. 64.
[15] H.S. Kartadjoemena. GATT-WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI-Press, 1997),  hal. 14-15  
[16] Ibid., hal 80-81         
[17] Ibid., hal.85
[18] Ibid., hal. 85-87

هناك تعليق واحد:

  1. Merkur Slots Machines - SEGATIC PLAY - Singapore
    Merkur Slot https://septcasino.com/review/merit-casino/ Machines. 5 star 토토 사이트 rating. The Merkur Casino game was the first to feature video slots in https://jancasino.com/review/merit-casino/ the entire wooricasinos.info casino, worrione

    ردحذف