الأحد، 13 يناير 2013

BAHASA HUKUM


PENGGUNAAN BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 Muhammad Sood

Abstract
One of the importace unsures in codifying the legislation is to use the legal language according to the the good and right Indonesian language. Pattern of legal language (legislation language) principally refers to the norms of Indonesian language either about how to make words, or to arrange sentences. But the legislation language actually has the specific characteristics or special metaphor namely: limpidity, clarity of meaning, simplicity, standard, aptitude, refers to principle in accordance with the need of law. 
In codifying the legislation, a drafter must be able to define the action as guidance to determine what the problem behavior that have to regulate by the law, such as is able to determine the subject that do what activity, able to define the activity as guidance to determine what, and able to look after carefulness in writing the draft of legislation. So that, the norms that regulated in legislation (imperative, impressive and prohibition norms) can be comprehended by the readers.

Keywords: legal language, legislation, drafter


I.        PENDAHULUAN
Pembangunan hukum pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun tata hukum nasional yang berlandaskan kepada jiwa dan dan kepribadian bangsa. Dalam konkritisasinya pembangunan hukum berarti pembentukan kaidah-kaidah hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, untuk mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pembuatan peraturan perundang-undangan hendaknya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sedang membangun, mengarahkan dan mengantisipasi perubahan sosial guna mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu peraturan yang dibuat tersebut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat sehingga dapat berlaku secara efektif.
Salah satu unsur penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah penggunaan “Bahasa Hukum” atau “Bahasa Perundang-undangan yang sesuai dengan kaidah tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata, menyusun kalimat, maupun pengejaannya. Artinya bahwa dalam pemilihan kata atau kalimat tidak menimbulkan penafsiran yang salah atau multi tafsir.
Menurut Bob Robert Seidman, bahwa peranan seorang perancang (drafter) akan terlihat dalam proses penyusunan rancangan peraturan, walaupun sistem pembuatan peraturan berbeda di setiap negara[1]. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting adalah bahwa penulis peraturan perundang-undangan harus benar-benar bertujuan agar pembaca memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh undang-undang.[2]
Untuk mengetahui dan memahami isi, maksud dan tujuan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dapat dipelajari dari struktur, pengaturan muatan materi dan bahasa. Bahasa yang tertulis (verbal) dalam suatu peraturan perundang-undangan memilki peran penting. Pertama, sebagai salah satu alat komunikasi antara perancang dengan subjek dan objek yang akan diatur. Kedua, memberikan umpan balik, apakah suatu peraturan perundang-undangan dapat dimengerti, diterima atau dilaksanakan oleh pelaku pelaksana yang dituju dan/atau oleh masyarakat luas. Bahasa peraturan perundang-undangan yang mudah dimengerti, lugas dan sederhana akan memberikan kemudahan bagi setiap pembaca untuk memahami isi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan perundang-undangan.
Bahasa peraturan perundang-undangan adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Namun perlu disepakati bahwa bahasa peraturan perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya bahasa yang khas yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Menurut Hamid Attamimi,[3] bahwa, dalam membicarakan bahasa Indonesia dalam perundang-undangan, semua pihak yang berkepentingan agar susunan kata dan bentukan kalimat yang dituangkan dalam proses pembentukan peraturan negara itu harus terbebas dari ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan.
Penyusunan rancangan peraturan yang merupakan tugas di bidang legislasi, baik dilaksanakan oleh para legislator, maupun pihak aparat pemerintah yang ada di instansi pemerintahan. Oleh karena itu para perancang (drafter) setidak-tidaknya harus memiliki minimal 3 (tiga) kemampuan: [4]
  1. harus memahami substansi materi yang menjadi materi peraturan yang akan dirancang karena beragamnya peraturan perundang-undangan yang dirancang, maka bergam pula materi yang dimuat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
  2. memahami ilmu perancangan peraturan perundang-undangan (legislative drafting), yaitu ilmu, teori dan teknik merancang peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya asas-asas hukum di dalam perundang-undangan dan asas-asas penyusunan peraturan perundang-undangan, dan;
  3. harus memahami bahasa hukum, yaitu bahasa perundang-undangan, karena tidak sedikit peraturan kurang baik karena rumusan kalimat perundang-undangannya sangat buruk.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penyusunan draf peraturan yaitu: bagaimana memahami ragam bahasa perundang-undangan dan menggunakannya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan; bagaimana menjelaskan siapa (subjek) yang melakukan perbuatan apa dalam merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan.

II. PEMBAHASAN
A.     RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.      Pengertian dan Sifat Bahasa Perundang-Undangan
Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang dipergunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga ia merupakan bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia, akan tetapi di dalamnya terkandung ciri-ciri khusus yaitu, adanya sifat keresmian, kejelasan makna, dan kelugasan.[5]
a.      Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada kaidah bahasa.
b.      Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
c.      Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai.
Menurut Driedger[6] dengan mengutip pendapat J. Stephen menyatakan bahwa dalam bahasa peraturan perundang-undangan “tidaklah cukup sekedar mencapai kecermatan yang menjadikan seseorang yang beritikad baik dapat memahaminya, melainkan apabila mungkin perlu mencapai tingkat kecermatan yang menjadikan seseorang yang beritikad tidak baik tidak dapat salah memahaminya”. Sutan Takdir Alisyahbana mengemukakan bahwa bahasa yang dipergunakan untuk hukum adalah bahasa Indonesia yang sublim, yaitu jernih dan murni (sublim artinya menampakkan keindahan di bentuknya yang tertinggi; amat indah; mulia; utama).
Khusus untuk bahasa dalam undang-undang, Anton M. Moeliono[7] mengatakan sebagai berikut: “Bahasa dalam undang-undang, yang dituntut harus jelas, tepat dan tidak boleh bermakna ganda, serta tidak menyapa orang secara pribadi. Selain itu, kalimat dalam Undang-Undang cenderung mirip suatu formula, seperti contoh berikut: Barangsiapa yang ... dihukum/dipidana dengan hukuman...”
Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa pentingnya kedudukan seorang perancang Peraturan Perundang-Undangan (legislatif/legal drafter) dalam memilih dan menentukan kata dan susunan kalimat yang menghasilkan ungkapan yang tepat sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang (legislator) dan tidak menimbulkan multi tafsir bagi subjek dan objek yang melaksanakan, serta pembaca.
Suatu peraturan perundang-undangan dapat terdiri atas ketentuan-ketentuan yang berupa norma hukum tunggal, dan dapat pula merupakan norma hukum yang berpasangan. Jika norma hukum tersebut merupakan norma hukum tunggal, di dalamnya hanya dirumuskan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku di dalam masyarakat; sedangkan jika dirumuskan dalam norma hukum yang berpasangan, maka selain ia merumuskan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam masyarakat (yang merupakan norma hukum primer), dirumuskan pula tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh penguasa
Apabila pedoman tersebut tidak dipenuhi/dilaksanakan dengan adanya sanksi pidana/pemaksa (yang merupakan norma hukum sekunder). Suatu norma dalam peraturan perundang-undangan juga mengandung norma-norma hukum yang bersifat umum, abstrak, dan terus-menerus serta berfungsi menetapkan suruhan (keharusan melakukan perbuatan), larangan (tidak melakukan perbuatan), pembebasan (boleh tidak melakukan perbuatan); atau dapat juga berisi suruhan dan larangan serta mencabut atau menarik kembali wewenang yang diberikan tersebut. Selain itu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang normatif, jadi tidak deklaratif.
2.      Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan
Dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan Montesquieu mengemukakan beberapa batasan sebagai berikut:[8]
a.       Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana;
b.      Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual;
c.       Hendaknya membatasi diri pada riil dan aktual, serta menghindarkan diri dari yang kiasan dan dugaan;
d.      Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada pada rata-rata manusia;
e.       Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu;
f.       Hendaknya tidak memancing perdebatan/perbantahan; adalah berbahaya memberikan alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan;
g.       Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta kewajaran yang alami; Jeremy Bentham mengemukakan adanya ketidaksempurnaan (imperfections) yang dapat mempengaruhi undang-undang, dan ketidaksempurnaan ini dapat dijadikan asas-asas bagi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ketidaksempurnaan itu dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a.      Ketidaksempurnaan tingkat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi:
1)      Arti ganda;
2)      Kekaburan;
3)      Terlalu luas.
b.      Sedangkan ketidaksempurnaan tingkat kedua disebabkan hal-hal meliputi:
1)      Ketidaktetapan ungkapan;
2)      Ketidaktetapan tentang pentingnya sesuatu;
3)      Berlebihan;
4)      Terlalu panjang lebar;
5)      Membingungkan;
6)      Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman;
7)      Ketidakteraturan.
Menurut Hamid Attamimi,[9] di dalam merumuskan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.      Tidak boleh mempunyai arti yang kembar;
b.      Harus menggunakan ungkapan-ungkapan yang jelas (jangan berpuisi);
c.      Jangan menggunakan ungkapan yang tidak sempurna;
d.      Gaya bahasa harus padat dan sederhana;
e.      Penggunaaan istilah yang sudah mutlak/tetap;
f.        Jangan mengacaukan yang pokok dengan pengecualian-pengecualian;
g.      Hindarkan ketidakteraturan dalam menggunakan kata-kata;
h.      Jangan menggunakan kalimat terlalu panjang;
i.         Pertimbangkan baik-baik perlu tidaknya peraturan tersebut agar jangan sampai suatu saat hukum itu menjadi korban.
Pada akhirnya, selain pedoman-pedoman tersebut di atas, maka hal-hal yang harus diperhatikan bagi seorang penyusun peraturan perundang-undangan adalah kemampuan dalam mengantisipasi atau menafsirkan apa yang mungkin terjadi dengan perumusan-perumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Demikian pula gagasan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan harus dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Untuk itu, setiap perancang hendaknya menyadari adanya tiga kebenaran dasar, yaitu:[10]
  1. Bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan itu tidak selalu dapat diterima sama atau dengan baik oleh setiap orang. Ada yang menangkap hanya sedikit dari apa yang disampaikan, dan ada yang sama sekali tidak mampu menerima isi tulisan itu. Adapula yang menangkap tulisan itu dengan mudah untuk dapat dimengerti.
  2. Bahwa makna yang akan disampaikan itu berada dalam pikiran perancang peraturan perundang-undangan bukan dalam kata atau simbol yang akan digunakannya. Bagaimana cermatnya makna itu dialihkan kepada orang lain tergantung pada keterampilan perancang untuk memilih kata-katanya, dan sejauh mana kecermatan pembaca menginterpretasikan kata-kata itu. Oleh karena itu, perancang harus melihat hal-hal dibalik kata-kata yang digunakan, dan juga harus mempertimbangkan kemampuan komunikasi dari mereka yang menerima pesan melalui tulisan itu, dalam hal ini pengguna peraturan perundang-undangan.
c.      Bahwa komunikasi selalu tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kata-kata itu terbatas dan sangat kasar untuk mewakili obyek atau hal yang akan dikomunikasikan. Kata “dapat” dan “boleh” dalam suatu norma dapat menimbulkan persoalan hukum yang berkepanjangan. Arti kata “dapat” menunjukkan adanya kewenangan yang melekat pada seseorang, sedangkan kata “boleh” menunjukkan kewenangan yang tidak melekat pada seseorang. Kata “wajib” dan “harus” kadangkala menimbulkan pula keraguan karena keduanya menyatakan keharusan (gebod) namun berbeda pengenaan sanksinya jika keharusan itu dilanggar. Kita berketetapan bahwa kata “wajib” digunakan untuk menyatakan keharusan, dan kata “harus” digunakan untuk pemenuhan persyaratan. Komunikasi juga tidak sempurna karena para komunikator sendiri memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk mengalihkan pikirannya. Ada orang yang dengan mudah mengerti suatu kata yang diterima olehnya, namun ada pula yang sebaliknya. Ada orang yang dengan mudah mengartikan kata-kata “kepentingan umum”, “stabilitas nasional”, “kerawanan”, “keadaan darurat”, “penyesuaian”, dan “keadilan”, dan lain-lain.
3.      Pemilihan Kata yang Tepat dalam Bahasa Perundang-Undangan
Perancang peraturan perundang-undangan dituntut untuk mampu memilih kata-kata yang tepat. Pemilihan kata oleh perancang peraturan bukan justru untuk mengaburkan pengertian kata itu sendiri atau dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi pengguna peraturan, seperti, dalam penggunaan kata “kepentingan umum” di atas. Untuk dapat memilih kata-kata yang tepat, perancang peraturan perundang-undangan harus menguasai dan memiliki kosa kata atau perbendaharaan kata dan ungkapanungakapan tersebut. Pemilihan kata-kata yang tidak tepat, maka bahasanya akan terasa kaku dan tidak mempunyai rasa.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, perancang harus mempunyai perbendaharaan kata-kata (vocabulary) yang memadai, disamping menguasai ungkapan-ungkapan dan penyusunan kalimat serta ejaannya. Pilihan kata yang diserap (dari bahasa asing), perlu lebih berhati-hati untuk menempatkannya karena kemungkinan satu kata berasal dari bahasa asing tersebut mempunyai banyak pengertian jika diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata “maksimum”, misalnya, yang sering digunakan dalam menentukan sanksi pidana, sebaiknya menggunakan kata “paling”.
Di samping kata serapan, yang banyak timbul masalah adalah penggunaan kata-kata yang salah penempatannya dalam suatu kalimat norma. Kita sering rancu dalam menggunakan kata-kata “kecuali”, “selain” dan “di samping”. Pembentuk peraturan perundang-undangan kadang-kadang menempatkan kata “kecuali” dalam kalimat “pengandaian” yang sering diungkapkan dengan kata-kata ”jika”, “dalam hal”, “apabila”, atau “pada saat”.
Ada suatu peraturan yang menyatakan: “kecuali menjalani hukuman, terpidana diwajibkan...”, kalimat norma ini sebetulnya ingin mengatur mengenai kewajiban lain yang dibebankan kepada terpidana, bukan mengecualikan kewajibannya. Seharusnya kalimat norma di atas berbunyi: “selain menjalani hukuman, terpidana diwajibkan...”.
Pernah kita jumpai pula isi peraturan yang menyatakan “Kecuali dalam hal putusan hakim...” yang mungkin oleh pembentuk peraturan dimaksudkan kalimat norma tersebut mengandung makna “pengecualian”. Padahal jika dibaca secara cermat, kalimat tersebut sesungguhnya mengandung “pengandaian” karena menggunakan kata-kata “dalam hal”. Seharusnya pembentuk peraturan langsung saja menyatakan “Dalam hal putusan hakim..., maka...”.
Jika pembentuk peraturan ingin menggunakan pengecualian dalam kalimat norma, sebaiknya kata “kecuali” ditempatkan pada awal kalimat atas induk kalimat. Kata kecuali, pada dasarnya merupakan penyimpangan dari prinsip umum atau norma umum. Contoh: “Kecuali pegawai negeri golongan IV, seluruh pegawai negeri harus hadir dalam mengikuti upacara bendera”.
Ada kemungkinan penempatan kata kecuali di belakang suatu kata tertentu, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan, misalnya, “Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, koki, kecuali koki magang, dan pelaut”. Kalimat norma “pengandaian”, kadangkala menimbulkan ketidakkonsistenan karena ada empat jenis kata pengandaian yang digunakan, yaitu: “dalam hal”, “jika”, “apabila”, dan “pada saat”. Penggunaaan jenis kata pengandaian tersebut harus dipilah-pilah sesuai dengan rasa bahasa yang dikaitkan dengan penalarannya.
Kata-kata (frase) “dalam hal” digunakan untuk satu keadaan kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi ataupun tidak mungkin terjadi.
Contoh: “Dalam hal Presiden berhalangan tetap, maka...”. kata “jika” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang akan terjadi lebih dari sekali, contoh: “Jika perusahaan itu melanggar kewajiban yang dimaksudkan dalam Pasal ... berturut-turut, maka ...”. Frase “pada saat” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang pasti akan terjadi pada suatu saat pada suatu masa yang akan datang, misalnya, “Pada saat seorang anak mencapai umur 18 tahun, maka ...”. Kata “apabila” digunakan untuk pengandaian yang berhubungan dengan waktu, misalnya, “Apabila dalam waktu tiga bulan, penggugat tidak mengajukan gugatannya ke pengadilan, maka ...”.
Perancang kadangkala dibingungkan pula oleh kata kumulatif dan alternatif dalam kalimat norma, yaitu kata “dan” dan “atau”. Penggunaan kedua kata ini sering-menimbulkan interpretasi jika dipraktikkan di luar peraturan, dalam kata lain, di dunia praktisi hukum. Penggunaan kata ”dan” adalah untuk menentukan sifat komulatif, sedangkan kata ”atau” adalah untuk menentukan sifat alternatif. Sementara untuk menentukan sifat komulatif dan alternatif, gunakan saja kata ”dan/atau”.   
4.      Teknik Pengacuan dan Tanda Baca
a.      Teknik Pengacuan
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang-Undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat ...
            Contoh:
1)      Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (I) dan ayat (2)...
2)      Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pula .....
Penggunaan kata dalam di depan kata Pasal, menunjukan dalam pasal tersebut terdapat atau terdiri dari ayat-ayat, dan diantara ayat-ayat dalam pasal tersebut ada yang dijadikan acuan. Sedangkan kata pada di depan kata ayat, menunjukan yang menjadi acuan adalah muatan materi yang diatur dan melekat pada ayat tersebut.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan:
Contoh :
1)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4)
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh :
1)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, keculai Pasal 7 ayat (1).
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a. Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Meskipun tidak dilarang, pengacuan sebaiknya digunakan terhadap pasal atau ayat terdahulu atau yang terletak sebelumnya. Hal ini penting agar tidak membingungkan pembaca, karena harus membuka lembar lain untuk melihat pasal atau ayat yang diacu. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan dihindarkan penggunaan frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut diatas.
b.      Tanda Baca
Menurut Budi Riyanto,[11] bahwa penggunaan dan penempatan tanda baca erat hubungannya dengan pemilihan dan penyusunan kata dan kalimat dalam perumusan pasal dan ayat. Penggunaan atau pemakaian tanda baca sebagai berkut:
1)      Tanda Titik (.):
a)      Dipakai jika pernyataan gagasan sudah selesai atau pada akhir kalimat bukan pertanyaan atau seruan;
b)      Dipakai pada akhir singkatan nama orang, gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan serta singkatan kata atau ungkapan yang sudah sangat umum (contoh: R. Suparman, Kepala.., Pembina.., Saudara, y.l, dan sebagainya), dan
c)      Tidak dipakai dibelakang tanggal, nama, jabatan.
- Juli 1947
- Suparman
- Menteri Dalam Negeri
2)      Tanda Koma (,):
a)  Untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian atau pembilangan;
b)      Untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat dalam kalimat majemuk; dan
c)      Untuk mengapit keterangan tambahan atau kalimat sisipan dalam kalimat yang lebih luas.
Contoh: bahan baku pembuatan sepatu, guna kelangsungan usaha pengrajin sepatu Cibaduyut, diimport dari Cina.
3)      Tanda Titik Koma (;):
a)      Menghubungkan suku kalimat yang sejenis dan setara yang tidak dirangkaikan oleh kata penghubung ( dan, atau, tetapi);
b)      Suku kalimat yang dirangkaikan oleh kata seperti, karena itu, meskipun, demikian, walaupun begitu, tambahan lagi;
c)      Suku kalimat atau gabungan kata (frasa) dalam seri yang sekaligus memerlukan pemakaian tanda titik koma, atau bahkan dalam seri yang unsur-unsurnya diberi penegasan khusus.
Contoh: Presiden Republik Indonesia setelah menimbang ...; dan mengingat ...; serta dengan persetujuan bersama DPR RI
memutuskan penetapan Undang-Undang tentang ...
4)      Tanda Titik Dua (:)
a)      Dipakai pada akhir suatu pernyataan yang lengkap jika diikuti rangkaian keterangan atau penjelasan;
b)      Tidak dipakai jika rankaian atau rincian itu merupakan obyek yang melengkapi atau mengakhiri pernyataan tersebut.
Contoh: Kata salinan dalam suatu Keputusan, sebaiknya ditempatkan setelah pasal terakhir diatas tanda tangan dan nama pejabat yang menandatangani.
5)      Tanda Elipsis (... tiga tanda titik) Menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan. Jika bagian yang dihilangkan itu mengakhiri kalimat, perlu dipakai empat tanda titik, satu diantaranya yaitu titik yang terakhir untuk
menandai akhir kalimat.
Contoh: Undang-undang nomor... tahun... tentang... yang diundangkan dalam lembaran negara..., tidak berlaku lagi.
Pendapat Suparman ”pelayanan umum adalah mencakup pelayanan administrasi dan fisik...”.
6)      Tanda Kurung ( ) :
Dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan pada singkatan, unsur yang tidak merupakan bagian integral pokok pembicaraan; petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau bahan tertulis.
Contoh :
a)      Penetapan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) dilakukan oleh Presiden.
b)      Yang terutama harus dihindari ialah Perumusan Pengecualian (voorbehoud) yang samar-samar.
7)      Tanda Petik Mengapit (”...”):
a)      Judul karangan dan nama bab buku jika dipakai dalam kalimat;
b)      Istilah ilmiah yang masih kurang dikenal atau kata yang diberi arti khusus;
c)      Petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau bahan tertulis.
Contoh :
a)      Suparman dalam karangannya ”Memangkas jenis dan persyaratan
b)      perijinan”, mengutip Bab... buku...
c)      Presiden memperkenalkan istilah ”Candak Kulak” ketika berbicara sistim perkreditan para petani.

B.     PEDOMAN UNTUK MENENTUKAN SIAPA (SUBJEK) YANG MELAKUKAN PERBUATAN APA DALAM MERUMUSKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.      Menjelaskan Perilaku sebagai pedoman untuk menentukan Siapa (Subjek)
Untuk menjelaskan perilaku yang merupakan pedoman dalam menentukan siapa/subjek, maka ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menyusun peraturan perundang-undangan yaitu:[12]
a.      Subjek sebagai pelaku yang melakukan tindakan   
Subjek harus benar-benar terdiri dari orang yang melakukan tindakan. Orang yang mendapat manfaat dari suatu peraturan belum tentu merupakan subyek dari peraturan.  
Contoh: “Seorang pegawai negeri yang telah melebihi usia enam puluh lima tahun, yang memenuhi persyaratan akan menerima pensiun”. 
Bandingkan: “Badan Pensiun harus membayar pensiun kepada seorang pegawai negeri yang telah berusia enam puluh lima tahun, yang telah memenuhi syarat”.
b.      Subjek Harus Memiliki Kemampuan Untuk Melakukan Tindakan
Peraturan perundang-undang harus menentukan perilaku, dan pelaku memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan (mempunyai kapasitas) untuk bertindak agar patuh pada hukum.
Contoh: - Kendaraan dilarang ditinggalkan di tengah jalan dengan mesin dalam keadaan hidup tanpa ada yang menjaganya.
- Bayi berumur di bawah dua tahun yang dibawa dalam kendaraan bermotor harus mengenakan sabuk pengaman.
Bandingkan:
-    Seorang dilarang meninggalkan kendaraan di tengah jalan raya dengan mesin dalam keadaan hidup tanpa ada yang menjaganya.
-    Seorang ibu yang membawa bayi berumur dibawah dua tahun dalam kendaraan bermotor harus mengenakan bayinya sabuk pengaman.
c.      Gunakan Bentuk Kalimat Aktif Bukan Kalimat Pasif
Menggunakan kalimat pasif sering gagal menentukan siapa yang bertindak atau melakukan suatu, karena itu dalam perumusan paraturan harus digunakan kalimat aktif.
Contoh: -  Sekretaris ditunjuk untuk masa jabatan selama tiga tahun.
                -  Panitia pengadahan tanah diangkat oleh Bupati.
    Bandingkan:
-          Ketua harus menunjuk sekretaris untuk masa jabatan selama tiga tahun.
-          Bupati mengangkat panitia pengadahan tanah.
d.      Gunakan Bentuk Tunggal, Bukan bentuk Jamak
Penggunaan atau pilihan istilah kata tunggal sudah mencakup makna keseluruhan tanpa menggunakan bentuk jamak.
Contoh: “Pegawai negari sipil dilarang mendukung kandidat yang akan dipilih untuk duduk di jabatan pemerintah”.
Bandingkan:
- “Pemerintah melarang seorang pegawai negeri sipil mendukung seorang kandidat yang akan dipilih untuk duduk di jabatan pemerintah”.
e.      Hindari penggunaan kata semua, siapa saja, barang siapa     
Kata sifat sebagaimana yang dimaksud di atas belum tentu menjelaskan kata benda, dapat menimbulkan banyak kesulitan, serta tidak jarang menambah makna lain. Sebagai pengganti kata tersebut gunakan kata “seorang”.
Contoh:  - “Semua pegawai negeri yang yang memenuhi syarat dapat diangkat 
                   menjadi kepala dinas”  
-    “Pegawai harus memiliki kartu pegawai”.
-    “Siapa saja….
-    “Barang siapa…
Bandingkan:
-    Setiap pegawai negeri yang memenuhi syarat dapat diangkat menjadi kepada dinas.
-    Setiap pegawai harus memiliki kartu pegawai.
f.        Hindari Kata Ganti Yang menunjukkan Jenis Kelamin
 Pemikiram modern tentang persamaan jender telah lama menggantikan konsep usang tentang penggnaan kata “dia” untuk (laki-laki dan perempuan).
Contoh: “Apabila Menteri menganggap bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah disebabkan oleh perusahaan HPH, maka dia dapat mencabut izin perusahaan tersebut”.
Bandingklan:
“ Apabila Menteri menganggap bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah disebabkan oleh perusahaan HPH, maka Menteri dapat mencabut izin perusahaan tersebut”.
Contoh:” Apabila Menteri menganggap bahwa masalah air bersih ada di suatu daerah maka dia berhak memutuskan bahwa keadaan darurat berlaku di daerah tersebut.
Bandingkan:
 “Apabila Menteri menganggap bahwa masalah air bersih ada di suatu daerah maka Menteri berhak memutuskan bahwa keadaan darurat berlaku di daerah tersebut”.
2.      Mendefinisikan Tindakan : Pedoman Untuk Menentukan “Apa”
Dalam penyusunan peraturan perundang-undang, seorang drafter (perancang) harus mampu mendefinisikan tindakan sebagai pedoman untuk menentukan perilaku apa yang bermasalah, yang harus diatur oleh peraturan. Sehubungan dengan hal ini seorang perancang harus memperhatikan:[13]
a.      Menyusun rancangan ditinjau dari sudut perilaku, bukan hak atau kewajiban.
1)      Pernyataan tentang hak atau kewajiban tidak mengatakan siapa melakukan apa. Sedapat mungkin setiap drafter harus menyusun rancangan yang ditinjau dari sudut perilaku, bukan dari sudut hak dan kewajiban.
Contoh: “Setiap pegawai berhak berkumpul dan berserikat dengan serikat buruh”
Bandingkan:
           “Setiap pemberi kerja memberikan izin (hak) kepada seorang pegawai untuk berkumpul dan berserikat” 
2)      Pernyataan tentang hak sebagai bentuk pasif yang tersamar, tidak menyatakan siapa.
Contoh: “Setiap pasien perawatan darurat berhak menerima perawatan darurat di rumah sakit.
Bandingkan:
 “Dokter (petugas) rumah sakit harus memberikan perawatan darurat kepada setiap pasien yang datang keruang darurat”.
b.      Menggunakan Kewajiban untuk Bertindak
1)      Gunakan kata “akan atau harus” untuk melaksanakan kewajiban bertindak.
-  akan (shall / will) untuk waktu yang akan datang (kemudian).
-   harus/wajib (must) merupakan keharusan/kewajiban (obligation)
2)      Jangan mengunankan kata akan untuk menjelaskan hubungan status atau keadaan.
Contoh:
- “Seorang yang berumur kurang dari delapan belas tahun akan dianggap dibawah umur.
- “Seorang pegawai negeri yang berumur 65 tahun akan pensiun (menerima pensiun).
3)      Untuk menunjukkan suatu tindakan pada masa yang akan datang selalu menggunakan kata akan, jangan gunakan kata dapat, akan dapat, atau dapat akan. 
c.       Memberikan kewenangan untuk memilih.
Pergunakan kata dapat atau boleh untuk menunjukkan wewenang untuk memilih
Contoh:- “Menteri karena kewenangannya dapat memberikan buku teks kepada sekolah swasta”.
- “Apabila dirasa perlu, menteri dapat menentukan peraturan tentang keselamatan kerja terhadap para pekerja.
d.      Gunakan kata kerja dasar, jangan gunakan kata kerja lemah dengan suatu nominasi dari kata dasar.
Contoh:
1)      menimbang bukan mempertimbang
2)      menggunakan  bukan mempergunakan
3)      menajamkan bukan mempertajamkan
4)      mengubah bukan merubah atau merobah

3.      Cara Menjaga Ketelitian Dalam Menulis Perundang-Undangan
Untuk menjaga ketelitian dalam menulis peraturan perundang-undangan beberapa hal yang harus dihindari yaitu:[14] 
a.      Hindari penggunaan kata yang samar-samar. Menggunakan kata yang samar-samar memberikan makna yang kabur. Penggunaannya hanya sebagai jalan keluar saja, itupun harus hati-hati misalnya, penggunaan kata cukup, wajar sebaiknya dihindari.
b.      Hindari penggunaan kata-kata yang tidak mencakup keseliruhan bidang.
Contoh:
1)     Seorang yang sebelum tanggal 1 Juni 2008 terdaftar dalam sistem jaminan sosial memenuhi syarat untuk program yang bantuan pemerintah
2)     Seorang yang terdaftar dalam sistem tersebut setelah tanggal 1 Juni 2008 tidak memenuhi syarat untuk itu.
Catatan:
        Bagaimana yang mendaftarkan diri pada tanggal 1 Juni 2008 ?
c.      Gunakan konsep yang sama untuk kata yang sama dan konsep yang berbeda untuk kata yang berbeda.
Misalnya, jika kita menggunakan kata dokumen, maka jangan gunakan kata catatan, jika kita gunakan kata upah maka jangan kita gunakan kata gaji, hal ini dimaksudkan untuk tidak mengacaukan makna.
d.      Hindari penggunaan kata yang berlebihan.
Penggunaan kata yang berlebihan tidak efektif dan tidak efisien, tidak jelas dan menimbulkan kekaburan makna.
Contoh: “Seorang yang terkena penyakit menular” tidak boleh memasuki permandian umum.
e.      Konsisten dengan kata-kata yang digunakan dalam undang-undang yang terkait
f.        Gunakan tabulasi untuk memperjelas makna.
Penggunaan tabulasi dimaksudkan untuk menguraikan kerumitan, jumlah kata dan mempermudah pemahaman.
Contoh: Dalam menentukan batas-batas georafis, Pemerintah Daerah harus memelihara jalan-jalan nasional, jalan-jalan propinsi dst…

Bandingkan:
Dalam menentukan batas-batas geografis, Pemerintah Daerah harus memelihara:
1.      jalan-jalan nasional;
2.      jalan-jalan propinsi;
3.      jalan-jalan kabupaten; dst
g.      Buatlah kalimat positif, bukan kalimat negatif.
Contoh: “Tidak seorangpun yang bukan warga negara Indonesia boleh lalai untuk mendaftarkan diri setiap tahun”
Bandingkan:
     “Seorang yang bukan warga negara Indonesia harus mendaftarkan diri setiap tahun”.
h.      Konsep yang penting diletakkan di awal atau diakhir kalimat.
Contoh: “Arbitor setelah para pihak mengajukan perkara mereka secara lengkap harus memutuskan perkara tersebut dengan cepat”.  
Bandingkan:
-          “Arbitor harus memutuskan perkara tersebut dengan cepat setelah para pihak mengajukan perkara mereka secara lengkap”.
-          “Setelah para pihak mengajukan perkara mereka secara lengkap, Arbitor harus memutuskan perkara tersebut dengan cepat”.
9.  Penggunaan acuan.
Apabila undang-undang (peraturan) mengacu kepada undang-undang (peraturan) lainnya, (misalnya, apabila undang lain tersebut mengandung pengecualian terhadap undang-undang yang baru), penyusun rancangan peraturan (RUU) dapat membantu pembaca dengan dengan menjelaskan secara singkat dalam tanda kurung setelah acuan pada undang-undang lain tersebut, tentang isi ringkas dari undang-undang yang diacu.
Contoh: “Kecuali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 Undang-undang tentang Kebidanan (yang memperkenankan bidan untuk memberikan resep obat yang berkaitan dengan masalah kehamilan), apoteker yang terdaftar tidak boleh memproses resep yang tidak ditandatangani oleh dokter yang meiliki izin praktek.
   
D.     Pemakaian Istilah dalam Perundang-undangan
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan istilah yaitu: [15]
1.      Mempersempit pengertian kata, gunakan kata “tidak meliputi”.
2.      Hindari pemakaian istilah yang berbeda-beda untuk pengertian yang sama, misalnya gaji, upah, pendapatan, atau penghasilan.
3.      Membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain sedapat mungkin hindari penggunaan frasa, tanpa mengurangi atau dengan tidak menghurangi, atau menyimpang dari.
4.      Untuk menyatakan maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu, gunakan kata “paling”. 
-          waktu : gunakan frasa paling singkat atau paling lama.
-          Jumlah uang: gunakan frasa paling banyak atau paling sedikit.
-          Jumlah non uang: gunaklan frasa paling rendah atau paling tinggi.
5.      Menyatakan tidak termasuk, gunakan kata “kecuali”.
6.      Untuk menyatakan makna termasuk gunakan kata “selain”.
7.      Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata “kecuali”.
8.      Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, gunakan kata “jika” atau frasa dalam hal.
9.      Untuk menyatakan sifat kumulatif gunakan kata “dan”, sifat alternatif gunakan kata “atau”, dan sifat kumulatif sekaligus alternatif gunakan kata” dan atau”.
10.  Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata “berhak”, pemberian kewenangan gunakan kata “berwenang”.
11.  Menyatakan sifat diskrisioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata “dapat”

 

III. PENUTUP

Dalam penyusunanan peraturan perundang undangan, perancang peraturan selain harus memahami keinginan atau aspirasi masyarakat dan pihak yang terkait sebagai bahan masukan, memahami ilmu legislative drafting, juga menguasai bahasa hukum, sehingga peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan yang responsive dan benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia.
Ragam bahasa perundang-undangan adalah menggunakan bahasa yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Bahasa perundang undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya bahasa yang khas yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undang, seorang drafter (perancang) harus mampu mendefinisikan tindakan sebagai pedoman untuk menentukan perilaku apa yang bermasalah, yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan, antara lain mampu menentukan subjek yang melakuka apa, mendefinisikan tindakan sebagai pedoman untuk menentukan “Apa”, serta mampu menjaga ketelitian dalam menulis perundang-undangan, serta Istilah dalam perundang-undangan


DAFTAR PUSTAKA
Attamimi A. Hamid, Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997. 
Riyanto Budi, Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan, Bahan Ajar Diklat Legal Drafting LAN RI, 2006.
Seidman, Robert Bob, Ann Seidman dan Nalin Abeyeserkere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Edisi I, ELIPS, USF, Juli 2001
Sood, Muhammad. Bahasa Perundang-Undangan. Makalah Seminar, pada Pelatihan Trainer of Trainers, kerjasama SCBD Project Angkatan V Departemen Dalam Negeri dan LAN Deputi Bidang Pembinaan Diklat Aparatur, di Jakarta dari 5-9 Oktober 2009  
Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Diklat Teknis Penyusunan Praturan Perudang-undangan (Legal Drafting), Tahun 2009.
Materi Pelatihan Legislative Drafting yang diselenggarakan oleh Center for Commercial Law and Economic UNUD kerjasama dengan University of San Francisco School of Law USA di Univessitas Udayana Denpasar, Bali Tanggal 5 - 14  November 2001


[1] Robert Bob Seidman, Ann Seidman dan Nalin Abeyserkere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Edisi I, ELIPS, USF, Juli 2001, hal 18.
[2] Ibid, hal 289
[3] Hamid Attamimi, Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997, Hal 14
[4] Muhammad Sood, Bahasa Perundang-Undangan, Makalah Seminar, pada Pelatihan Trainer of Trainers, kerjasama SCBD Project Angkatan V Departemen Dalam Negeri dan LAN Deputi Bidang Pembinaan Diklat Aparatur, di Jakarta dari 5-9 Oktober 2009   
[5] Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Diklat Teknis Penyusunan Praturan Perudang-undangan (Legal Drafting), 2009, hal. 20
[6] A. Hamid Attamimi, Op.cit. hal. 14
[7] Ibid
[8] Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Op. cit., hal. 22
[9] A. Hamid Attamimi, Op. Cit., hal 14
[10] Modul 5, Bahasa Perundang-undangan, op. Cit, hal. 4
[11] Budi Riyanto, Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan, Bahan Ajar Diklat Legal Drafting LAN RI, 2006.
[12] Robert B. Sedman, dkk, Op.cit., hal. 293-299
[13] Ibid., hal. 300 -
[14] Materi Pelatihan Legislative Drafting yang diselenggarakan oleh Center for Commercial Law and Economic UNUD kerjasama dengan University of San Francisco School of Law USA di Univessitas Udayana Denpasar, Bali Tanggal 5 - 14  November 2001
[15] Ibid.

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق