PENGGUNAAN BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Muhammad Sood
Abstract
One of the
importace unsures in codifying the legislation is to use the legal language
according to the the good and right Indonesian language. Pattern of legal language (legislation language) principally
refers to the norms of Indonesian language either about how to make words, or to
arrange sentences. But the legislation language actually has the specific characteristics
or special metaphor namely: limpidity, clarity of meaning, simplicity,
standard, aptitude, refers to principle in accordance with the need of
law.
In
codifying the legislation, a drafter must be able to define the action as
guidance to determine what the problem behavior that have to regulate by the
law, such as is able to determine the subject that do what activity, able to
define the activity as guidance to determine what, and able to look after
carefulness in writing the draft of legislation. So that, the norms that
regulated in legislation (imperative, impressive and prohibition norms) can be
comprehended by the readers.
Keywords: legal language,
legislation, drafter
I.
PENDAHULUAN
Pembangunan hukum pada dasarnya merupakan upaya untuk
membangun tata hukum nasional yang berlandaskan kepada jiwa dan dan kepribadian
bangsa. Dalam konkritisasinya pembangunan hukum berarti pembentukan
kaidah-kaidah hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, untuk mengatur
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pembuatan peraturan perundang-undangan
hendaknya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sedang
membangun, mengarahkan dan mengantisipasi perubahan sosial guna mewujudkan
cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu peraturan yang dibuat tersebut harus sesuai dengan aspirasi
masyarakat sehingga dapat berlaku secara efektif.
Salah satu unsur penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
adalah penggunaan “Bahasa Hukum” atau “Bahasa Perundang-undangan yang sesuai
dengan kaidah tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut
pembentukan kata, menyusun kalimat, maupun pengejaannya. Artinya bahwa dalam
pemilihan kata atau kalimat tidak menimbulkan penafsiran yang salah atau multi
tafsir.
Menurut Bob Robert Seidman, bahwa peranan
seorang perancang (drafter) akan terlihat dalam proses penyusunan
rancangan peraturan, walaupun sistem pembuatan peraturan berbeda di setiap
negara[1]. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting adalah bahwa penulis
peraturan perundang-undangan harus benar-benar bertujuan agar pembaca memahami
apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh undang-undang.[2]
Untuk mengetahui dan memahami isi, maksud dan
tujuan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dapat dipelajari dari
struktur, pengaturan muatan materi dan bahasa. Bahasa yang tertulis (verbal)
dalam suatu peraturan perundang-undangan memilki peran penting. Pertama,
sebagai salah satu alat komunikasi antara perancang dengan subjek dan objek
yang akan diatur. Kedua, memberikan umpan balik, apakah suatu peraturan perundang-undangan
dapat dimengerti, diterima atau dilaksanakan oleh pelaku pelaksana yang dituju
dan/atau oleh masyarakat luas. Bahasa peraturan perundang-undangan yang mudah
dimengerti, lugas dan sederhana akan memberikan kemudahan bagi setiap pembaca
untuk memahami isi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan perundang-undangan.
Bahasa peraturan perundang-undangan
adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa
Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya.
Namun perlu disepakati bahwa bahasa peraturan
perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya
bahasa yang khas yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian,
kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan
hukum.
Menurut Hamid Attamimi,[3] bahwa, dalam membicarakan bahasa Indonesia dalam perundang-undangan, semua
pihak yang berkepentingan agar susunan kata dan bentukan kalimat yang
dituangkan dalam proses pembentukan peraturan negara itu harus terbebas dari
ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan.
Penyusunan rancangan peraturan
yang merupakan tugas di bidang legislasi, baik dilaksanakan oleh para
legislator, maupun pihak aparat pemerintah yang ada di instansi pemerintahan.
Oleh karena itu para perancang (drafter) setidak-tidaknya
harus memiliki minimal 3 (tiga) kemampuan: [4]
- harus memahami substansi materi yang menjadi materi peraturan yang akan dirancang karena beragamnya peraturan perundang-undangan yang dirancang, maka bergam pula materi yang dimuat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
- memahami ilmu perancangan peraturan perundang-undangan (legislative drafting), yaitu ilmu, teori dan teknik merancang peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya asas-asas hukum di dalam perundang-undangan dan asas-asas penyusunan peraturan perundang-undangan, dan;
- harus memahami bahasa hukum, yaitu bahasa perundang-undangan, karena tidak sedikit peraturan kurang baik karena rumusan kalimat perundang-undangannya sangat buruk.
Bertitik
tolak dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penyusunan draf
peraturan yaitu: bagaimana memahami ragam bahasa perundang-undangan dan
menggunakannya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan; bagaimana menjelaskan siapa
(subjek) yang melakukan perbuatan apa dalam merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan.
II. PEMBAHASAN
A. RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Pengertian dan Sifat
Bahasa Perundang-Undangan
Ragam bahasa peraturan
perundang-undangan ialah gaya bahasa yang
dipergunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga ia
merupakan bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia,
akan tetapi di dalamnya terkandung ciri-ciri khusus yaitu, adanya sifat
keresmian, kejelasan makna, dan kelugasan.[5]
a. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan
adanya situasi kedinasan, yang menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa,
dan ketaatan kepada kaidah bahasa.
b. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar
informasi yang disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan
bagian-bagian kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat
itu akan memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang
disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang dirumuskan
harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau
keterangan yang lainnya.
c. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini
menuntut agar setiap perumusannya disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan
berlebihan atau berandai-andai.
Menurut Driedger[6]
dengan mengutip pendapat J. Stephen menyatakan bahwa dalam bahasa peraturan perundang-undangan “tidaklah cukup sekedar mencapai kecermatan yang menjadikan seseorang yang
beritikad baik dapat memahaminya, melainkan apabila mungkin perlu mencapai tingkat kecermatan yang menjadikan seseorang yang beritikad tidak
baik tidak dapat salah memahaminya”.
Sutan Takdir Alisyahbana mengemukakan bahwa bahasa yang dipergunakan
untuk hukum adalah bahasa Indonesia yang sublim, yaitu jernih dan murni (sublim
artinya menampakkan keindahan di bentuknya yang tertinggi; amat indah; mulia;
utama).
Khusus untuk bahasa dalam undang-undang, Anton M. Moeliono[7]
mengatakan sebagai berikut: “Bahasa dalam undang-undang, yang dituntut harus
jelas, tepat dan tidak boleh bermakna ganda, serta tidak menyapa orang secara
pribadi. Selain itu, kalimat dalam Undang-Undang cenderung mirip suatu formula,
seperti contoh berikut: ”Barangsiapa
yang ... dihukum/dipidana dengan hukuman...”
Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa pentingnya kedudukan seorang perancang
Peraturan Perundang-Undangan (legislatif/legal drafter) dalam memilih dan
menentukan kata dan susunan kalimat yang menghasilkan ungkapan yang tepat
sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang (legislator) dan tidak menimbulkan multi tafsir
bagi subjek dan objek yang melaksanakan, serta pembaca.
Suatu peraturan
perundang-undangan dapat terdiri atas
ketentuan-ketentuan yang berupa norma hukum tunggal, dan dapat pula merupakan
norma hukum yang berpasangan. Jika norma hukum tersebut merupakan norma hukum
tunggal, di dalamnya hanya dirumuskan pedoman bagaimana seseorang harus
bertingkah laku di dalam masyarakat; sedangkan jika dirumuskan dalam norma
hukum yang berpasangan, maka selain ia merumuskan pedoman bagaimana seseorang
harus bertingkah laku dalam masyarakat (yang merupakan norma hukum primer), dirumuskan
pula tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh penguasa
Apabila pedoman
tersebut tidak dipenuhi/dilaksanakan dengan adanya sanksi pidana/pemaksa (yang
merupakan norma hukum sekunder). Suatu norma dalam peraturan perundang-undangan juga mengandung norma-norma hukum yang bersifat umum, abstrak, dan
terus-menerus serta berfungsi menetapkan suruhan (keharusan melakukan
perbuatan), larangan (tidak melakukan perbuatan), pembebasan (boleh tidak
melakukan perbuatan); atau dapat juga berisi suruhan dan larangan serta
mencabut atau menarik kembali wewenang yang diberikan tersebut. Selain itu
norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, abstrak dan
terus-menerus dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang normatif, jadi tidak
deklaratif.
2. Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan
Dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan Montesquieu
mengemukakan beberapa batasan sebagai berikut:[8]
a. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana;
b. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relatif,
dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara
individual;
c. Hendaknya membatasi diri pada riil dan aktual, serta menghindarkan diri
dari yang kiasan dan dugaan;
d. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena
rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya
tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada pada
rata-rata manusia;
e. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, atau pengubahan,
kecuali apabila dianggap mutlak perlu;
f. Hendaknya tidak memancing perdebatan/perbantahan; adalah berbahaya memberikan
alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu
pertentangan;
g. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung
manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan
serta kewajaran yang alami; Jeremy Bentham mengemukakan adanya
ketidaksempurnaan (imperfections) yang dapat mempengaruhi undang-undang,
dan ketidaksempurnaan ini dapat dijadikan asas-asas bagi pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Ketidaksempurnaan itu dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a.
Ketidaksempurnaan
tingkat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi:
1)
Arti ganda;
2)
Kekaburan;
3)
Terlalu luas.
b.
Sedangkan
ketidaksempurnaan tingkat kedua disebabkan hal-hal meliputi:
1)
Ketidaktetapan
ungkapan;
2)
Ketidaktetapan tentang
pentingnya sesuatu;
3)
Berlebihan;
4)
Terlalu panjang
lebar;
5)
Membingungkan;
6)
Tanpa tanda yang
memudahkan pemahaman;
7)
Ketidakteraturan.
Menurut Hamid Attamimi,[9] di dalam merumuskan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak boleh mempunyai arti yang kembar;
b.
Harus menggunakan
ungkapan-ungkapan yang jelas (jangan berpuisi);
c.
Jangan menggunakan
ungkapan yang tidak sempurna;
d.
Gaya bahasa harus
padat dan sederhana;
e.
Penggunaaan istilah
yang sudah mutlak/tetap;
f.
Jangan mengacaukan
yang pokok dengan pengecualian-pengecualian;
g.
Hindarkan
ketidakteraturan dalam menggunakan kata-kata;
h.
Jangan menggunakan
kalimat terlalu panjang;
i.
Pertimbangkan
baik-baik perlu tidaknya peraturan tersebut agar jangan sampai suatu saat hukum
itu menjadi korban.
Pada akhirnya, selain pedoman-pedoman tersebut di atas, maka hal-hal yang
harus diperhatikan bagi seorang penyusun peraturan perundang-undangan adalah kemampuan dalam
mengantisipasi atau menafsirkan apa yang mungkin terjadi dengan perumusan-perumusan
dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
Demikian pula gagasan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan harus dapat mencapai sasaran yang
diinginkan. Untuk itu, setiap perancang hendaknya menyadari adanya tiga
kebenaran dasar, yaitu:[10]
- Bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan itu tidak selalu dapat diterima sama atau dengan baik oleh setiap orang. Ada yang menangkap hanya sedikit dari apa yang disampaikan, dan ada yang sama sekali tidak mampu menerima isi tulisan itu. Adapula yang menangkap tulisan itu dengan mudah untuk dapat dimengerti.
- Bahwa makna yang akan disampaikan itu berada dalam pikiran perancang peraturan perundang-undangan bukan dalam kata atau simbol yang akan digunakannya. Bagaimana cermatnya makna itu dialihkan kepada orang lain tergantung pada keterampilan perancang untuk memilih kata-katanya, dan sejauh mana kecermatan pembaca menginterpretasikan kata-kata itu. Oleh karena itu, perancang harus melihat hal-hal dibalik kata-kata yang digunakan, dan juga harus mempertimbangkan kemampuan komunikasi dari mereka yang menerima pesan melalui tulisan itu, dalam hal ini pengguna peraturan perundang-undangan.
c.
Bahwa komunikasi
selalu tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kata-kata itu
terbatas dan sangat kasar untuk mewakili obyek atau hal yang akan
dikomunikasikan. Kata “dapat” dan “boleh” dalam suatu norma dapat menimbulkan
persoalan hukum yang berkepanjangan. Arti kata “dapat” menunjukkan adanya
kewenangan yang melekat pada seseorang, sedangkan kata “boleh” menunjukkan
kewenangan yang tidak melekat pada seseorang. Kata “wajib” dan “harus”
kadangkala menimbulkan pula keraguan karena keduanya menyatakan keharusan (gebod)
namun berbeda pengenaan sanksinya jika keharusan itu dilanggar. Kita
berketetapan bahwa kata “wajib” digunakan untuk menyatakan keharusan, dan kata
“harus” digunakan untuk pemenuhan persyaratan. Komunikasi juga tidak sempurna
karena para komunikator sendiri memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk
mengalihkan pikirannya. Ada orang yang dengan mudah mengerti suatu kata yang
diterima olehnya, namun ada pula yang sebaliknya. Ada orang yang dengan mudah
mengartikan kata-kata “kepentingan umum”, “stabilitas nasional”, “kerawanan”,
“keadaan darurat”, “penyesuaian”, dan “keadilan”, dan lain-lain.
3. Pemilihan Kata yang Tepat dalam Bahasa Perundang-Undangan
Perancang peraturan
perundang-undangan dituntut untuk mampu memilih
kata-kata yang tepat. Pemilihan kata oleh perancang peraturan bukan justru
untuk mengaburkan pengertian kata itu sendiri atau dapat menimbulkan
interpretasi yang berbeda bagi pengguna peraturan, seperti, dalam penggunaan
kata “kepentingan umum” di atas. Untuk dapat memilih kata-kata yang tepat,
perancang peraturan
perundang-undangan harus menguasai dan memiliki kosa
kata atau perbendaharaan kata dan ungkapanungakapan tersebut. Pemilihan
kata-kata yang tidak tepat, maka bahasanya akan terasa kaku dan tidak mempunyai
rasa.
Dalam membentuk peraturan
perundang-undangan, perancang harus mempunyai
perbendaharaan kata-kata (vocabulary) yang memadai, disamping menguasai
ungkapan-ungkapan dan penyusunan kalimat serta ejaannya. Pilihan kata yang
diserap (dari bahasa asing), perlu lebih berhati-hati untuk menempatkannya
karena kemungkinan satu kata berasal dari bahasa asing tersebut mempunyai
banyak pengertian jika diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata “maksimum”,
misalnya, yang sering digunakan dalam menentukan sanksi pidana, sebaiknya
menggunakan kata “paling”.
Di samping kata serapan, yang banyak timbul masalah adalah penggunaan
kata-kata yang salah penempatannya dalam suatu kalimat norma. Kita sering rancu dalam menggunakan kata-kata “kecuali”, “selain” dan “di
samping”. Pembentuk peraturan
perundang-undangan kadang-kadang menempatkan kata
“kecuali” dalam kalimat “pengandaian” yang sering diungkapkan dengan kata-kata
”jika”, “dalam hal”, “apabila”, atau “pada saat”.
Ada suatu peraturan yang menyatakan: “kecuali menjalani hukuman, terpidana
diwajibkan...”, kalimat norma ini sebetulnya ingin mengatur mengenai kewajiban
lain yang dibebankan kepada terpidana, bukan mengecualikan kewajibannya.
Seharusnya kalimat norma di atas berbunyi: “selain menjalani hukuman, terpidana
diwajibkan...”.
Pernah kita jumpai pula isi peraturan yang menyatakan “Kecuali dalam hal
putusan hakim...” yang mungkin oleh pembentuk peraturan dimaksudkan kalimat
norma tersebut mengandung makna “pengecualian”. Padahal jika dibaca secara
cermat, kalimat tersebut sesungguhnya mengandung “pengandaian” karena menggunakan
kata-kata “dalam hal”. Seharusnya pembentuk peraturan langsung saja menyatakan
“Dalam hal putusan hakim..., maka...”.
Jika pembentuk peraturan ingin menggunakan pengecualian dalam kalimat
norma, sebaiknya kata “kecuali” ditempatkan pada awal kalimat atas induk
kalimat. Kata kecuali, pada dasarnya merupakan penyimpangan dari prinsip umum
atau norma umum. Contoh: “Kecuali pegawai negeri golongan IV, seluruh pegawai
negeri harus hadir dalam mengikuti upacara bendera”.
Ada kemungkinan penempatan kata kecuali di belakang suatu kata tertentu,
jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan, misalnya, “Yang dimaksud
dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, koki, kecuali koki magang, dan
pelaut”. Kalimat norma “pengandaian”, kadangkala menimbulkan ketidakkonsistenan
karena ada empat jenis kata pengandaian yang digunakan, yaitu: “dalam hal”,
“jika”, “apabila”, dan “pada saat”. Penggunaaan jenis kata pengandaian tersebut
harus dipilah-pilah sesuai dengan rasa bahasa yang dikaitkan dengan
penalarannya.
Kata-kata (frase) “dalam hal” digunakan
untuk satu keadaan kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi ataupun tidak
mungkin terjadi.
Contoh: “Dalam hal Presiden berhalangan tetap,
maka...”. kata “jika” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang akan
terjadi lebih dari sekali, contoh: “Jika perusahaan itu melanggar kewajiban
yang dimaksudkan dalam Pasal ... berturut-turut, maka ...”. Frase “pada saat”
digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang pasti akan terjadi pada suatu
saat pada suatu masa yang akan datang, misalnya, “Pada saat seorang anak
mencapai umur 18 tahun, maka ...”. Kata “apabila” digunakan untuk pengandaian
yang berhubungan dengan waktu, misalnya, “Apabila dalam waktu tiga bulan,
penggugat tidak mengajukan gugatannya ke pengadilan, maka ...”.
Perancang
kadangkala dibingungkan pula oleh kata kumulatif dan alternatif dalam kalimat
norma, yaitu kata “dan” dan “atau”. Penggunaan kedua kata ini
sering-menimbulkan interpretasi jika dipraktikkan di luar peraturan, dalam kata
lain, di dunia praktisi hukum. Penggunaan kata ”dan” adalah untuk menentukan
sifat komulatif, sedangkan kata ”atau” adalah untuk menentukan sifat alternatif.
Sementara untuk menentukan sifat komulatif dan alternatif, gunakan saja kata
”dan/atau”.
4. Teknik Pengacuan dan Tanda Baca
a. Teknik Pengacuan
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa
mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan
dapat digunakan teknik pengacuan. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk
pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau
Peraturan Perundang-Undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana
dimaksud dalam pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat ...
Contoh:
1)
Persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (I) dan ayat (2)...
2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pula
.....
Penggunaan kata dalam di depan kata Pasal,
menunjukan dalam pasal tersebut terdapat atau terdiri dari ayat-ayat, dan
diantara ayat-ayat dalam pasal tersebut ada yang dijadikan acuan. Sedangkan
kata pada di depan kata ayat, menunjukan yang menjadi acuan adalah muatan
materi yang diatur dan melekat pada ayat tersebut.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang
berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang
diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan:
Contoh :
1)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
2)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4)
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi
ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak
ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh :
1)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim,
keculai Pasal 7 ayat (1).
2)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan,
kecuali ayat (4) huruf a. Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang
diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Meskipun tidak
dilarang, pengacuan sebaiknya digunakan terhadap pasal atau ayat terdahulu atau
yang terletak sebelumnya. Hal ini penting agar tidak membingungkan pembaca,
karena harus membuka lembar lain untuk melihat pasal atau ayat yang diacu.
Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat
yang diacu dan dihindarkan penggunaan frase pasal yang terdahulu atau pasal
tersebut diatas.
b. Tanda Baca
Menurut Budi Riyanto,[11]
bahwa penggunaan dan penempatan tanda baca erat hubungannya dengan pemilihan
dan penyusunan kata dan kalimat dalam perumusan pasal dan ayat. Penggunaan atau
pemakaian tanda baca sebagai berkut:
1) Tanda Titik (.):
a)
Dipakai jika
pernyataan gagasan sudah selesai atau pada akhir kalimat bukan pertanyaan atau
seruan;
b)
Dipakai pada akhir
singkatan nama orang, gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan serta singkatan kata
atau ungkapan yang sudah sangat umum (contoh: R. Suparman, Kepala.., Pembina..,
Saudara, y.l, dan sebagainya), dan
c)
Tidak dipakai
dibelakang tanggal, nama, jabatan.
- Juli 1947
- Suparman
- Menteri Dalam Negeri
2)
Tanda Koma (,):
a) Untuk memisahkan unsur-unsur
dalam perincian atau pembilangan;
b) Untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat dalam kalimat
majemuk; dan
c) Untuk mengapit keterangan tambahan atau kalimat sisipan dalam kalimat yang
lebih luas.
Contoh: bahan baku pembuatan sepatu, guna kelangsungan usaha pengrajin
sepatu Cibaduyut, diimport dari Cina.
3)
Tanda Titik Koma (;):
a) Menghubungkan suku kalimat yang sejenis dan setara yang tidak dirangkaikan
oleh kata penghubung ( dan, atau, tetapi);
b) Suku kalimat yang dirangkaikan oleh kata seperti, karena itu, meskipun,
demikian, walaupun begitu, tambahan lagi;
c) Suku kalimat atau gabungan kata (frasa) dalam seri yang sekaligus
memerlukan pemakaian tanda titik koma, atau bahkan dalam seri yang
unsur-unsurnya diberi penegasan khusus.
Contoh: Presiden Republik Indonesia setelah menimbang ...; dan mengingat
...; serta dengan persetujuan bersama DPR RI
memutuskan penetapan Undang-Undang tentang ...
4)
Tanda Titik Dua (:)
a)
Dipakai pada akhir
suatu pernyataan yang lengkap jika diikuti rangkaian keterangan atau
penjelasan;
b)
Tidak dipakai jika
rankaian atau rincian itu merupakan obyek yang melengkapi atau mengakhiri
pernyataan tersebut.
Contoh: Kata salinan dalam suatu Keputusan, sebaiknya ditempatkan setelah
pasal terakhir diatas tanda tangan dan nama pejabat yang menandatangani.
5)
Tanda Elipsis (...
tiga tanda titik) Menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang
dihilangkan. Jika
bagian yang dihilangkan itu mengakhiri kalimat, perlu dipakai empat tanda
titik, satu diantaranya yaitu titik yang terakhir untuk
menandai akhir
kalimat.
Contoh: Undang-undang nomor... tahun... tentang... yang diundangkan dalam
lembaran negara..., tidak berlaku lagi.
Pendapat Suparman ”pelayanan umum adalah mencakup pelayanan administrasi dan fisik...”.
6)
Tanda Kurung ( ) :
Dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan pada singkatan,
unsur yang tidak merupakan bagian integral pokok pembicaraan; petikan langsung
yang berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau bahan tertulis.
Contoh :
a)
Penetapan suatu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) dilakukan oleh Presiden.
b)
Yang terutama harus
dihindari ialah Perumusan Pengecualian (voorbehoud) yang samar-samar.
7)
Tanda Petik Mengapit
(”...”):
a) Judul karangan dan nama bab buku jika dipakai dalam kalimat;
b) Istilah ilmiah yang masih kurang dikenal atau kata yang diberi arti khusus;
c) Petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau bahan
tertulis.
Contoh :
a)
Suparman dalam
karangannya ”Memangkas jenis dan persyaratan
b)
perijinan”, mengutip
Bab... buku...
c)
Presiden
memperkenalkan istilah ”Candak Kulak” ketika berbicara sistim perkreditan para
petani.
B.
PEDOMAN UNTUK MENENTUKAN SIAPA (SUBJEK) YANG MELAKUKAN PERBUATAN APA DALAM
MERUMUSKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Menjelaskan Perilaku sebagai pedoman untuk menentukan Siapa (Subjek)
Untuk menjelaskan
perilaku yang merupakan pedoman dalam menentukan siapa/subjek, maka ada
beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan yaitu:[12]
a.
Subjek sebagai pelaku
yang melakukan tindakan
Subjek harus benar-benar terdiri
dari orang yang melakukan tindakan.
Orang yang mendapat manfaat dari suatu peraturan belum tentu merupakan subyek
dari peraturan.
Contoh: “Seorang pegawai negeri
yang telah melebihi usia enam puluh lima tahun, yang memenuhi persyaratan akan
menerima pensiun”.
Bandingkan: “Badan Pensiun harus
membayar pensiun kepada seorang pegawai negeri yang telah berusia enam puluh
lima tahun, yang telah memenuhi syarat”.
b. Subjek Harus Memiliki Kemampuan Untuk Melakukan Tindakan
Peraturan perundang-undang harus menentukan perilaku, dan pelaku memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan (mempunyai kapasitas) untuk bertindak
agar patuh pada hukum.
Contoh: - Kendaraan
dilarang ditinggalkan di tengah jalan dengan mesin dalam keadaan hidup tanpa
ada yang menjaganya.
- Bayi
berumur di bawah dua tahun yang dibawa dalam kendaraan bermotor harus
mengenakan sabuk pengaman.
Bandingkan:
- Seorang
dilarang meninggalkan kendaraan di tengah jalan raya dengan mesin dalam keadaan
hidup tanpa ada yang menjaganya.
- Seorang
ibu yang membawa bayi berumur dibawah dua tahun dalam kendaraan bermotor harus
mengenakan bayinya sabuk pengaman.
c. Gunakan
Bentuk Kalimat Aktif Bukan Kalimat Pasif
Menggunakan kalimat pasif sering gagal menentukan
siapa yang bertindak atau melakukan suatu, karena itu dalam perumusan paraturan
harus digunakan kalimat aktif.
Contoh: - Sekretaris ditunjuk
untuk masa jabatan selama tiga tahun.
- Panitia pengadahan tanah diangkat
oleh Bupati.
Bandingkan:
-
Ketua harus menunjuk sekretaris untuk masa
jabatan selama tiga tahun.
-
Bupati mengangkat
panitia pengadahan tanah.
d. Gunakan
Bentuk Tunggal, Bukan bentuk Jamak
Penggunaan atau pilihan istilah kata tunggal sudah mencakup makna
keseluruhan tanpa menggunakan bentuk jamak.
Contoh: “Pegawai negari sipil dilarang mendukung
kandidat yang akan dipilih untuk duduk di jabatan pemerintah”.
Bandingkan:
- “Pemerintah
melarang seorang pegawai negeri sipil mendukung seorang kandidat yang akan
dipilih untuk duduk di jabatan pemerintah”.
e. Hindari
penggunaan kata semua, siapa saja, barang siapa
Kata sifat sebagaimana yang dimaksud di atas belum tentu menjelaskan
kata benda, dapat menimbulkan banyak kesulitan, serta tidak jarang menambah
makna lain. Sebagai pengganti kata tersebut gunakan kata “seorang”.
Contoh: - “Semua
pegawai negeri yang yang memenuhi syarat dapat diangkat
menjadi kepala dinas”
-
“Pegawai harus
memiliki kartu pegawai”.
- “Siapa
saja….
- “Barang
siapa…
Bandingkan:
- Setiap
pegawai negeri yang memenuhi syarat dapat diangkat menjadi kepada dinas.
- Setiap
pegawai harus memiliki kartu pegawai.
f.
Hindari Kata Ganti
Yang menunjukkan Jenis Kelamin
Pemikiram
modern tentang persamaan jender telah lama menggantikan konsep usang tentang
penggnaan kata “dia” untuk (laki-laki dan perempuan).
Contoh: “Apabila Menteri
menganggap bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah disebabkan oleh
perusahaan HPH, maka dia dapat mencabut izin perusahaan tersebut”.
Bandingklan:
“ Apabila Menteri menganggap bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah
disebabkan oleh perusahaan HPH, maka Menteri dapat mencabut izin perusahaan
tersebut”.
Contoh:” Apabila Menteri
menganggap bahwa masalah air bersih ada di suatu daerah maka dia berhak
memutuskan bahwa keadaan darurat berlaku di daerah tersebut.
Bandingkan:
“Apabila Menteri menganggap bahwa
masalah air bersih ada di suatu daerah maka Menteri berhak memutuskan bahwa
keadaan darurat berlaku di daerah tersebut”.
2.
Mendefinisikan Tindakan : Pedoman Untuk Menentukan “Apa”
Dalam penyusunan peraturan
perundang-undang, seorang drafter (perancang)
harus mampu mendefinisikan tindakan sebagai pedoman untuk menentukan perilaku
apa yang bermasalah, yang harus diatur oleh peraturan. Sehubungan dengan hal
ini seorang perancang harus memperhatikan:[13]
a. Menyusun rancangan ditinjau dari sudut perilaku, bukan hak atau kewajiban.
1) Pernyataan tentang hak atau kewajiban tidak mengatakan siapa melakukan
apa. Sedapat mungkin setiap drafter harus menyusun rancangan yang ditinjau
dari sudut perilaku, bukan dari sudut hak dan kewajiban.
Contoh: “Setiap pegawai berhak
berkumpul dan berserikat dengan serikat buruh”
Bandingkan:
“Setiap pemberi kerja memberikan
izin (hak) kepada seorang pegawai untuk berkumpul dan berserikat”
2) Pernyataan tentang hak sebagai bentuk pasif yang tersamar,
tidak menyatakan siapa.
Contoh: “Setiap pasien perawatan darurat berhak
menerima perawatan darurat di rumah sakit.
Bandingkan:
“Dokter (petugas)
rumah sakit harus memberikan perawatan darurat kepada setiap pasien yang datang
keruang darurat”.
b. Menggunakan
Kewajiban untuk Bertindak
1) Gunakan kata “akan atau harus” untuk melaksanakan kewajiban
bertindak.
- akan (shall
/ will) untuk waktu yang akan datang (kemudian).
- harus/wajib (must) merupakan
keharusan/kewajiban (obligation)
2) Jangan
mengunankan kata akan untuk menjelaskan hubungan status atau keadaan.
Contoh:
- “Seorang yang berumur kurang dari delapan belas tahun
akan dianggap dibawah umur.
- “Seorang pegawai negeri yang berumur 65 tahun akan
pensiun (menerima pensiun).
3)
Untuk menunjukkan suatu tindakan pada masa
yang akan datang selalu menggunakan kata akan, jangan gunakan kata
dapat, akan dapat, atau dapat akan.
c. Memberikan
kewenangan untuk memilih.
Pergunakan kata dapat atau boleh untuk menunjukkan
wewenang untuk memilih
Contoh:- “Menteri karena kewenangannya dapat memberikan
buku teks kepada sekolah swasta”.
- “Apabila dirasa perlu, menteri dapat menentukan
peraturan tentang keselamatan kerja terhadap para pekerja.
d. Gunakan kata kerja
dasar, jangan gunakan kata kerja lemah dengan suatu nominasi dari kata dasar.
Contoh:
1) menimbang bukan mempertimbang
2) menggunakan bukan
mempergunakan
3) menajamkan bukan mempertajamkan
4) mengubah bukan merubah atau merobah
3. Cara Menjaga Ketelitian Dalam Menulis
Perundang-Undangan
Untuk menjaga ketelitian dalam menulis peraturan
perundang-undangan beberapa hal yang harus dihindari yaitu:[14]
a. Hindari penggunaan kata yang samar-samar. Menggunakan kata yang
samar-samar memberikan makna yang kabur. Penggunaannya hanya sebagai jalan
keluar saja, itupun harus hati-hati misalnya, penggunaan kata cukup, wajar sebaiknya
dihindari.
b. Hindari penggunaan kata-kata yang tidak mencakup keseliruhan bidang.
Contoh:
1) Seorang
yang sebelum tanggal 1 Juni 2008 terdaftar dalam sistem jaminan sosial memenuhi
syarat untuk program yang bantuan pemerintah
2) Seorang
yang terdaftar dalam sistem tersebut setelah tanggal 1 Juni 2008 tidak memenuhi
syarat untuk itu.
Catatan:
Bagaimana yang mendaftarkan
diri pada tanggal 1 Juni 2008 ?
c. Gunakan
konsep yang sama untuk kata yang sama dan konsep yang berbeda
untuk kata yang berbeda.
Misalnya, jika kita menggunakan kata dokumen, maka jangan gunakan
kata catatan, jika kita gunakan kata upah maka jangan kita
gunakan kata gaji, hal ini dimaksudkan untuk tidak mengacaukan
makna.
d. Hindari penggunaan kata yang berlebihan.
Penggunaan kata yang berlebihan tidak efektif dan tidak
efisien, tidak jelas dan menimbulkan kekaburan makna.
Contoh: “Seorang yang terkena
penyakit menular” tidak boleh memasuki permandian umum.
e. Konsisten dengan kata-kata yang digunakan dalam undang-undang yang terkait
f.
Gunakan tabulasi
untuk memperjelas makna.
Penggunaan tabulasi dimaksudkan untuk menguraikan
kerumitan, jumlah kata dan mempermudah pemahaman.
Contoh: Dalam menentukan
batas-batas georafis, Pemerintah Daerah harus memelihara jalan-jalan nasional,
jalan-jalan propinsi dst…
Bandingkan:
Dalam menentukan batas-batas geografis, Pemerintah Daerah
harus memelihara:
1. jalan-jalan
nasional;
2. jalan-jalan
propinsi;
3. jalan-jalan
kabupaten; dst
g. Buatlah
kalimat positif, bukan kalimat negatif.
Contoh: “Tidak seorangpun yang bukan warga negara Indonesia boleh
lalai untuk mendaftarkan diri setiap tahun”
Bandingkan:
“Seorang
yang bukan warga negara Indonesia
harus mendaftarkan diri setiap tahun”.
h. Konsep
yang penting diletakkan di awal atau diakhir kalimat.
Contoh: “Arbitor setelah para pihak mengajukan perkara
mereka secara lengkap harus memutuskan perkara tersebut dengan cepat”.
Bandingkan:
-
“Arbitor harus memutuskan perkara tersebut
dengan cepat setelah para pihak mengajukan perkara mereka secara lengkap”.
-
“Setelah para pihak mengajukan perkara
mereka secara lengkap, Arbitor harus memutuskan perkara tersebut dengan cepat”.
9. Penggunaan acuan.
Apabila undang-undang (peraturan) mengacu kepada undang-undang
(peraturan) lainnya, (misalnya, apabila undang lain tersebut mengandung
pengecualian terhadap undang-undang yang baru), penyusun rancangan peraturan
(RUU) dapat membantu pembaca dengan dengan menjelaskan secara singkat dalam tanda
kurung setelah acuan pada undang-undang lain tersebut, tentang isi ringkas dari
undang-undang yang diacu.
Contoh:
“Kecuali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 Undang-undang tentang Kebidanan
(yang memperkenankan bidan untuk memberikan resep obat yang berkaitan dengan
masalah kehamilan), apoteker yang terdaftar tidak boleh memproses resep yang
tidak ditandatangani oleh dokter yang meiliki izin praktek.
D. Pemakaian Istilah dalam Perundang-undangan
Dalam menyusun peraturan
perundang-undangan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan
istilah yaitu: [15]
1. Mempersempit pengertian kata,
gunakan kata “tidak meliputi”.
2. Hindari pemakaian istilah yang berbeda-beda untuk pengertian yang sama,
misalnya gaji, upah, pendapatan, atau penghasilan.
3. Membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain sedapat mungkin hindari
penggunaan frasa, tanpa mengurangi atau dengan tidak menghurangi, atau
menyimpang dari.
4. Untuk menyatakan maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau
batasan waktu, gunakan kata “paling”.
-
waktu : gunakan frasa paling singkat atau
paling lama.
-
Jumlah uang: gunakan frasa paling banyak
atau paling sedikit.
-
Jumlah non uang: gunaklan frasa paling
rendah atau paling tinggi.
5. Menyatakan tidak termasuk, gunakan kata “kecuali”.
6. Untuk menyatakan makna termasuk gunakan kata “selain”.
7. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata “kecuali”.
8. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, gunakan kata “jika”
atau frasa dalam hal.
9. Untuk menyatakan sifat kumulatif gunakan kata “dan”, sifat alternatif
gunakan kata “atau”, dan sifat kumulatif sekaligus alternatif gunakan kata” dan
atau”.
10. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata “berhak”, pemberian
kewenangan gunakan kata “berwenang”.
11. Menyatakan sifat diskrisioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada
seseorang atau lembaga gunakan kata “dapat”
III. PENUTUP
Dalam
penyusunanan peraturan perundang undangan, perancang peraturan selain harus
memahami keinginan atau aspirasi masyarakat dan pihak yang terkait sebagai
bahan masukan, memahami ilmu legislative drafting, juga menguasai bahasa
hukum, sehingga peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan
yang responsive dan benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia.
Ragam bahasa
perundang-undangan adalah menggunakan bahasa yang tunduk kepada kaidah tata
bahasa Indonesia,
baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya.
Bahasa perundang undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya bahasa yang khas
yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian,
dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Dalam penyusunan peraturan
perundang-undang, seorang drafter
(perancang) harus mampu mendefinisikan tindakan sebagai pedoman untuk
menentukan perilaku apa yang bermasalah, yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan, antara
lain mampu menentukan subjek yang melakuka apa, mendefinisikan tindakan sebagai
pedoman untuk menentukan “Apa”, serta mampu menjaga ketelitian dalam menulis
perundang-undangan, serta Istilah dalam perundang-undangan
DAFTAR PUSTAKA
Attamimi A. Hamid, Materi
Muatan Peraturan Perundang-Undangan,
Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997.
Riyanto Budi, Ragam
Bahasa Peraturan Perundang-undangan, Bahan Ajar Diklat Legal Drafting LAN
RI, 2006.
Seidman, Robert Bob, Ann Seidman
dan Nalin Abeyeserkere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang
Demokratis, Edisi I, ELIPS, USF, Juli 2001
Sood, Muhammad. Bahasa
Perundang-Undangan. Makalah Seminar, pada Pelatihan Trainer of Trainers,
kerjasama SCBD Project Angkatan V Departemen Dalam Negeri dan LAN Deputi Bidang
Pembinaan Diklat Aparatur, di Jakarta dari 5-9 Oktober 2009
Modul 5, Bahasa
Perundang-Undangan, Diklat Teknis Penyusunan Praturan Perudang-undangan
(Legal Drafting), Tahun 2009.
Materi Pelatihan
Legislative Drafting yang diselenggarakan oleh Center for Commercial Law and
Economic UNUD kerjasama dengan University of San Francisco School of Law USA di
Univessitas Udayana Denpasar, Bali Tanggal 5 - 14 November 2001
[1] Robert Bob Seidman, Ann Seidman dan Nalin Abeyserkere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam
Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Edisi I, ELIPS, USF, Juli 2001, hal
18.
[3] Hamid Attamimi, Materi
Muatan Peraturan Perundang-Undangan,
Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997, Hal 14
[4] Muhammad Sood, Bahasa
Perundang-Undangan, Makalah Seminar, pada Pelatihan Trainer of Trainers, kerjasama
SCBD Project Angkatan V Departemen Dalam Negeri dan LAN Deputi Bidang Pembinaan
Diklat Aparatur, di Jakarta dari 5-9 Oktober 2009
[5] Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Diklat Teknis
Penyusunan Praturan Perudang-undangan (Legal Drafting), 2009, hal. 20
[10] Modul 5, Bahasa Perundang-undangan, op. Cit, hal.
4
[11] Budi Riyanto, Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan, Bahan Ajar
Diklat Legal Drafting LAN RI, 2006.
[14] Materi
Pelatihan Legislative Drafting yang diselenggarakan oleh Center for Commercial
Law and Economic UNUD kerjasama dengan University of San Francisco School of
Law USA di Univessitas Udayana Denpasar, Bali Tanggal 5 - 14 November 2001
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق